Lihat ke Halaman Asli

Rosiana Febriyanti

Ibu rumah tangga dan guru

Guru, Tulislah Kerlipan Cintamu

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Belakangan ini, menjamur gerakan menulis, baik untuk anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Namun amat disayangkan karena gerakan ini tidak diimbangi dengan adanya gerakan gemar membaca. Berapa banyak siswa yang hobinya mengunjungi perpustakaan sekolah hanya untuk berlama-lama membaca buku? Bagaimana anak didik mau gemar membaca sementara jarang pula mereka melihat guru membaca di perpustakaan?

Bagaimana seseorang dapat merangkai kosa kata menjadi sebuah tulisan apabila ia tak tahu apa yang mau ia tulis, pengetahuannya terbatas karena kurang membaca. Saya yakin tak kurang buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah, kecuali di pedesaan yang terpencil, tapi mengapa tak juga menggerakkan para siswa dan guru untuk gemar membaca.

Guru bisa saja berdalih sibuk membuat RPP dan administrasi sekolah, toh sudah membaca beberapa referensi buku untuk persiapan mengajar. Namun, pernahkan para guru mencontohkan membawa buku-buku referensinya ke dalam kelas? Setidaknya para siswa melihat, oh ternyata tidak mudah untuk bisa menyampaikan materi pelajaran dan itu akan mereka rasakan pula saat mereka mendapat tugas presentasi dengan suguhan slide power point mereka nantinya.

Saya tidak malu membawa-bawa buku, novel, kamus, atau biografi tokoh ke dalam kelas. Meskipun berat, tapi setidaknya saya mencontohkan bahwa saya pun gemar membaca. Dengan harapan, mereka tidak merasa terbebani ketika saat menyuruh mereka membaca intensif buku nonfiksi untuk kemudian dibuat review, ringkasan atau resensi singkatnya.

Kebiasaan membaca buku mendorong saya untuk menulis reviewnya lalu membaginya ke facebook. Beberapa karya saya, baik berupa buku maupun cerpen saya perlihatkan untuk memotivasi mereka untuk giat belajar, meskipun buku itu hanya dicetak untuk kalangan sekolah sendiri dan cerpen itu belum dimuat di media. Saya pun mendorong beberapa orang guru untuk menulis buku atau kumpulan soal sendiri, walaupun saya akui hanya sedikit yang mau melakukannya.

Dari menulis beberapa buku, saya berani mengatakan ada honornya walau tidak besar. Namun, bukan itu poin pentingnya (kalau honornya besar saya juga tak menolak). Selagi saya melakukannya dengan senang hati karena pihak sekolah membebaskan saya untuk berkreasi, tidak membebani dengan jumlah halaman tertentu, saya bersyukur karena dapat menyalurkan hobi menulis saya. Teman guru lainnya berkata, "Mau nulis tapi tak punya bakat dan keahlian." Sebenarnya dalam menulis, bakat itu tidak penting, tapi kemauan yang direalisasikan dalam bentuk tulisan itu yang penting. Bersedia menulis, bersedia dikritik, bersedia mengedit, dan yang utama bersedia meluangkan waktu untuk menulis walau satu halaman satu harinya. Bagaimana mungkin seorang guru tidak punya bahan untuk menulis, sedangkan ada seribu satu cerita yang dapat ditulis dari pengalamannya yang kaya rasa. Satu anak mempunyai satu cerita yang melekat di dalam perjalanan seorang guru, karena tiap anak adalah pribadi yang unik dan istimewa dan gurulah sang pemegang rahasia keberhasilannya.

Selain keuntungan finansial yang kita dapatkan, ada kepuasan batin manakala nama kita tertera di sampul depan buku yang kita susun dan kita cetak sendiri. Menulis dapat mengurangi stres (dengan catatan menulis tanpa beban atau bukan karena tuntutan sekolah), menumpahkan perasaan dan memperkaya perbendaharaan kata. Manfaat menulis lainnya, khususnya di dunia maya, berteman dengan penulis, setidaknya jadi terpacu untuk menulis. Bukan lagi menulis dengan orientasi materi seperti uang, buku, dan yang lainnya, melainkan  lebih dari itu, ada kepuasan tersendiri manakala saya dan teman-teman penulis bisa berbagi tulisan, tips menulis, dan bertukar buku, bahkan nantinya bisa membagikan buku ke taman bacaan yang masih minim koleksi bukunya.

Duhai guru, berusahalah menjadi penerang walau cahayanya tak cukup untuk satu ruangan. Seulas senyuma yang tulus dan semangat memberi ilmu harus bisa membayangi setiap kerlipan cinta yang kau bawa. Di Ruang Cinta, yaitu di kelas-kelas kita yang menyimpan berjuta asa, ada jiwa-jiwa murni yang siap menanti sapa hangatmu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline