Guruku galak sekali
Wajahnya seperti singa
Kupingnya semerah kepiting rebus
Ketika ada siswa yang menulis puisi seperti itu, kira-kira apa reaksi apa yang akan saya perlihatkan sebagai guru?Apakah saya akan menyalahkan dan memasukkannya ke ruang BP lalu menasihatinya agar tidak mengulanginya? Saya berusaha untuk tidak emosional dalam menghadapi siswa semacam ini dan justru mengoreksi diri sendiri terhadap metode pengajarannya selama ini. Namun semoga tulisan ini tidak menghakimi guru atau siswa, melainkan sebagai renungan kita bersama.
Kalau saya berada di posisi seperti tadi, saya akan mencairkan suasana hati saya dengan mengaitkannya dengan mata pelajaran yang saya ajarkan, yaitu bahasa Indonesia , terutama pada pelajaran puisi. Puisi tersebut mengandung majas perumpamaan yang menggunakan kata seperti dan semerah.
Ha-ha! Anak-anak pasti terheran-heran mengapa saya tidak marah. Mengajarkan puisi tidaklah sulit, tetapi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menurut saya, guru Bahasa Indonesia yang baik tidak harus yang pandai berpuisi, karena guru bukan penyair. Selain itu, tidak semua guru memiliki bakat dan keterampilan membaca puisi dengan intonasi, tempo, penghayatan, jeda dan volume suara yang tepat. Maaf, ada juga guru yang tidak suka berekspesi, terutama yang berkepribadian introvert atau pendiam.
Ada orang yang lebih bebas mengekspresikan isi hatinya lewat tulisan tapi malu luar biasa kalau disuruh membaca puisi. Ada orang yang bisa membaca puisi tapi tidak pandai menyusun kata-kata (seperti saya) dan ada pula orang yang hanya senang mengoleksi puisi-puisi cinta.
Sebenarnya, orang yang tadinya tidak suka sama sekali menulis puisi ternyata setelah diberi kesempatan menulis, bisa juga walau puisinya sangat sederhana. Saya menyuruhnya menulis apa saja, misalnya benda-benda yang ada di sekitarnya atau yang sempat terekam di kepalanya, lalu merangkainya menjadi kalimat-kalimat pendek ?
Kalimat-kalimat pendek yang saling bertalian makna itu disusun menjadi bait-bait puisi sederhana, walaupun menurut sebagian orang puisinya tidak indah sama sekali. Saya berupaya membimbing dalam hal memilih kata-kata yang tepat dengan menuliskan kata-kata semakna lebih dari dua kata, lalu siswa memilih kata mana yang menurutnya lebih mewakili perasaannya dengan mempergunakan kecerdasan yang mereka miliki untuk mengajarkan puisi.
1.Kecerdasan Angka
Jika anak lebih tertarik pada angka, maka anak dapat menuliskan tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya, lalu dibuat puisi pendek tentang apa saja yang menarik hatinya. Hal ini bisa dimulai dengan menyebutkan angka-angka dengan intonasi dan suara yang naik-turun. Pertama-tama anak akan tertawa dan merasa aneh, lalu dibimbing mengubahnya menjadi puisi. Misalnya,
1 diucapkan dengan nada tinggi, tempo lambat
2,3,4 diucapkan dengan nada rendah tempo cepat
5,6 diucapkan dengan nada tinggi tempo cepat pula
7,8 diucapkan dengan nada rendah tempo lambat
9dan10 diucapkan terputus-putus
Sem-bi-lan dan se-pu-luh
Lalu anak menulis puisi dengan menggunakan tanggal lahirnya. Misalnya anak yang lahir pada tanggal 3 Februari 1985.
Tiga burung merpati merunduk sedih
Dua sayapnya digunting anak lelaki
Delapan tahun usia anak itu
Lima jam menderita kesakitan
2.Kecerdasan Huruf
Hal yang menakjubkan pernah terjadi pada saat saya mengajar. Seorang siswi bernama Nur Afifah memiliki daftar kata yang sulit, bahkan ia sendiri tidak paham maknanya. Kosa katanya beragam, indah, tidak lazim tetapi mengandung nilai seni karena diperolehnya dari setiap puisi yang pernah dibacanya, baik di buku maupun di internet. Sekitar empat buku tulisnya penuh dengan puisi karyanya sendiri. Guru seharusnya merespon siswa yang memiliki kecerdasan luar biasa ini dengan mendorongnya untuk mengirimkan karya-karyanya ke penerbit buku.
Menurut saya, membuat daftar kata atau kamus kata sangat membantu dalam pengajaran puisi. Tentu sebelumnya siswa sebaiknya membaca antologi puisi terlebih dahulu, lalu menyusun daftar kata yang menarik, indah, dan mengandung makna yang dapat menyentuh perasaan.
Cara lain untuk mengajarkan puisi adalah kita dapat mengajarkan puisi akrostik yang menggunakan huruf-huruf nama siswa. Berikut kutipan puisi yang ditulis oleh seorang siswa kelas VIII SMP bernama Yusuf Zaim.
Yang Maha Esa menciptakannya dalam kesunyian
Umpama butir mutiara putih mengkilau
Serangkai katanya ‘ kan singkap kabut kegelapan
Untuk mencerahkan dunia dengan sinar-Nya
Fajar pagi seakan menyambut kehadirannya
Kutipan puisi akrostik yang menggunakan namanya sendiri itu mengajak kita untuk memaknai hidup, bahwa kita terlahir fitri, suci, yang sayang jika harus terkotori oleh kabut kegelapan nafsu dan angkara murka. Tidak hanya sampai di situ, ia pun menulis dalam catatan kaki di bawah puisinya;