Lihat ke Halaman Asli

Nilai Keaktifan Mahasiswa Ajang Unjuk “Eksistensi” Tanpa “Esensi”

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13353343401578792389

Proses pembelajaran yang dihadapi mahasiswa dalam perkuliahan tentu berbeda dengan apa yang di hadapi para siswa di sekolah, dimana dalam pembelajaran yang di alami mahasiswa ini proses pembelajaranya yakni dua arah. Proses perkuliahan dikembangkan melalui bentuk komunikasi dua arah, antara dosen dan mahasiswa melalui kegiatan Tanya jawab, pembuatan makalah, dan diskusi kelas. Guna menunjang pemahaman terhadap materi perkuliahan, mahasiswa diminta untuk mencari informasi terbaru melalui, buku atau di internet sekalipun.

Dalam kontrak belajar di awal semester biasanya ada nilai tambahan yang biasanya berkisar 5% - 10% bagi mahasiswa yang aktif dikelas (Partisipasi kelas), contohnya bagi mahasiswa yang berani bertanya hingga menyanggah pernyataan teman dalam persentasinya, atau sekalipun menyanggah pernyataan dosenya.

Hal ini memang sangat menarik dan menjadi corak pembeda antara pendidikan di sekolah menengah atas, dan bangku perkuliahan. Mengajarkan dan senantiasa menuntut mahasiswa untuk mampu berbicara dan aktif dalam kelas, tentunya untuk membuat hangatnya perkuliahan dan tidak menjenuhkan mahasiswa atau dosen itu sendiri.

Namun dalam perjalananya metode seperti ini terkadang tidak sejalan dengan apa yang di harapkan, tuntutan untuk senantiasa aktif dalam kelas dengan “iming-iming” tambahan nilai tentu membuat sebagian mahasiswa terkadang bertanya tentang apa yang justru telah dia ketahui (hanya untuk menguji dosen atau untuk menjatuhkan temanya sekalipun). Dan yang lebih parahnya lagi ketika ada yang menanyakan tentang apa yang tidak di ketahui, lalu menjatuhkan dengan pertanyaan yang menyalahkan kejadian yang tidak ketahui itu. Kasus lainya yaitu mahasiswa saling berpendapat, menjatuhkan hingga menuhankan dirinya sendiri, hingga forum sudah layaknya perdebatan di luar kelas tanpa seorang dosen. Terkadang ada juga yang menjadikan ajang perkuliahan khususnya dalam  penerapan diskusi kelas dengan metode persentasi makalah misalnya, mahasiswa menjadikan itu lebih dari prosesi sidang skripsi, dan “mengorek-ngorek” kesalahan dari yang kecil sampai yang besar, dalam hal demikian memang tidak bisa di salahkan, namun terkadang dalam perjalananya membuat mahasiswa itu sendiri menjadi hakim, dan meninggi dengan merendahkan orang lain seakan forum kelas sebagai ajang unjuk eksistensi.

Dalam kasus seperti ini dosen sangat berperan penting dalam penerapan sistem pembelajaran dua arah ini, dan tentu harus bisa mengawal jalanya pembelajaran agar lebih kondusif, berjalan sesuai apa yang dibicarakan, tidak melebar dan sesuai dengan essensi dari perkuliahan tersebut, agar terciptanya kehangatan forum yang murni membicarakan apa yang pantas dibicarakan dan sesuai bahasan.

Semoga pembelajaran dua arah ini, tidak hanya menjadi intensitas dari pepatah “tong kosong nyaring bunyinya”, dan semoga metode ini berjalan selangkah dengan esensinya. Serta tidak membiasakan mahasiswa untuk menghujat, menjatuhkan dan menghakimi hingga menuhankan dirinya sendiri.

Karena pepatah mengatakan,“Membuat orang lain nampak bodoh tak berarti menjadikanmu terlihat pintar dan hebat. Melemahkan orang lain justru membuat kelemahanmu terlihat” (Mohammad Panji Islami)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline