Kamu makhluk sosial bukan? Pasti iya dong kalau kamu manusia kamu pasti makhluk sosial. Walaupun ada juga yang mengakui kalau dia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, dia sebenarnya tetap makhluk sosial, yang munafik.
Para sosialita, tau nggak mulai kapan kita bersosialita? Yup, kita bersosialita mulai bayi loh.. Saat bayi kita sudah mulai menerima nilai dan norma dari orang tua kita.
Contoh: Suatu hari, disiang yang terik seorang ibu sedang menimang nimang anaknya sambil bersenandung lagu jawa “Anakku rungokno yo ngger isek cilik tak kudang kudang dadio wong kang utomo ngabekti ngarang wong tuo..” dengan pelukan hangat dari sang ibu dan suara merdu yang tulus anaknya pun tertidur dengan nyaman.
Cerita so sweet di atas termasuk kegiatan sosial pada bayi, walaupun saat itu para bayi belum mengerti bahasa manusia, tapi mereka merekam namun belum bisa merespon. Mereka menangkap kasih sayang dan perlakuan ibu terhadap mereka. Perlakuan – perlakuan itulah yang akan membentuk karakter anak. Itulah kenapa setiap anak memiliki sifat dan karakter yang berbeda – beda.
Kalian tau nggak guys kalu jiwa – jiwa koruptor itu bisa saja berasal dari orang tua loh, contohnyaa..
Saat berumur 5 tahun :
Ayah : “Dek, adek kenapa kok males pergi sekolah? Adek kan punya banyak teman di sekolah, banyak mainan lagi.”
Anak : “Adek bosan ayah tiap hari sekolah.
Ayah : “Looh, kok bosan? Ya sudah, gimana kalau ayah beliin boneka baru. Tapi ada syaratnya dek, adek harus rajin masuk sekolah ya, baaru ayah beliin boneka baru yang bagus. Gimana?
Anak : “Iya. Adek mau ayah..”
Saat berumur 8 tahun :
Ibu : “ Dek, kalau kamu bisa juara 1, Ibu kasi 1 stel pakaian merk “(tiiiit)”.
Saat berumur 12 :
Ayah : “Dek, kalau kamu bisa juara 1 paralel, ayah kasi Handphone terbaru.”
Saat berumur 15 :
Ayah : “Dek, kalau kamu bisa juara 1, ayah kasi Laptop.”
Saat berumur 18 :
Ayah : “Dek, kalau kamu berhasil masuk universitas “(tiiiiit)”, Ayah kasi mobil “(tiiii)”.
Saat anak sudah menjadi hakim :
Orang berduit : “Pak tolong bebaskan saya dari tuduhan, kalau bapak membantu saya saya bersedia memberi berapapun yang anda inginkan.”
Sang anak : “Kalau bapak kasi saya 2 kali lipat dari gaji saya, saya bisa membantu bapak.”
Nah loo, kebanyakan nerima sogokan dari kecil sih, jadinya kebiasaan deh sampek di dunia kerja. Walau nggak semua anak yang disogok dari kecil besarnya jadi bisa disogok juga. Ada lagi contoh yang membuat anak jadi semaunya sendiri setelah dewasa :
Anak : “Hiks..Hiks.. Mamaaa, barusan adek jatuh tu, di situ maa..” Sambil menunjuk arah tempat jatuhnya anak gajah.#bercanda.
Mama : “Aduuh, anak mama.. Mana dek yang sakit? Cup cup cup, emang batunya nakal ya dek, biar mama pukul batunya..!!”
Tuh kan, salah siapa gak hati-hati, kok yang di salahin batunya? emang batunya bisa jorokin orang? Gak kan. Kalau dari kecil udah dibelain terus gitu, besarnya pasti jadi anak yang gak mau disalahin, dan malah melempar kesalahan keorang yang nggak salah. Egois bukan?
Tapi, nggak semua orang tua gitu lo yaa. Banyak orang tua yang mengerti hal – hal yang baik untuk anaknya dan mana hal yang nggak baik. Mereka sudah berusaha semaksimal mungkin agar anaknya jadi orang yang berbudi luhur. Namun setelah anaknya terjun ke lingkungan sekitar yang di luar pengawasan orang tua, misalnya tetangga, lingkungan sekolah, dan teman – teman bermainnya, sang anak belum tentu jadi yang diharapkan lagi lo. Lingkungan sekitar juga penentu penting karakter anak setelah orang tua.
Kalau lingkungannya baik sih gak masalah, tapi kalau seperti.. :
Suatu siang di lapangan sepak bola.
Sang teman : “Hei bro, kemana aja lu jam segini baru nongol?”
ABG : “Ya sekolah lah, emang lu gak sekolah?”
Sang teman : “Ennggak! Ngapain sekolah? Lu sekolah gak bakal dapet uang cepet, malah ngabisin waktu. Mendingan main bola aja, udah seru, kalau menang dapat duit lagi. Kalau kita mau kita bisa jadi anggota Tim Nas. Duitnya lebih banyak bray!”
ABG : “Iya juga sih.”
Waduuh, susah kan kalau gampang kehasut kayak ABG(Anak Baru Gede) di atas. Semoga yang baca ini gak ikut-ikutan mau berhenti sekolah kayak “Sang teman” dan “ABG” ya. Kan kasihan orang tua kita, kerja keras biar anaknya bisa sekolah dan berkecukupan eh malah berhenti sekolah. Boleh saja punya hobi, punya kegiatan olah raga tapi pendidikan penting ya, buat bekal kalau suatu saat kita ada di bawah. gak mungkin kan kita selalu ada di puncak kesuksesan.
Masa anak – anak memang masa pembentukan karakter, dan masa remaja masa penemuan jati diri. Kalau karakter sudah baik, tapi lingkungan sekitar buruk, kemungkinan besar bisa terpengaruh loh. Tapi bisa dicegah kok. Masa remaja memang labil, jadi orang tua harus care banget ya sama anaknya. Bukan protectiv, tapi care. Mendekati anak sebagai teman, bukan orang tua yang “kepo”, agar anak bisa terbuka pada orang tua. Kalu sudah saling terbuka sama anak kan mudah ngontrolnya.
Hey kamu, yang masi remaja. Kamu sering gak ngeluh dalam hati tentang temanmu?
pasti pernah ya. “Kok dia jorok banget sih.”, “Kok dia ngomongnya pake tenaga dalam sih, ngotot banget.”, “Cerewetnya gak ketulungan.”, “kok aku cantik banget sih.”#lagiPD-hehe.
Sifat – sifat temanmu itu juga hasil bentukan saat mereka kecil. Kalau bukan keluarga ya lingkungan. Jangan langsung blak – blakan ngasi tau mereka di tempat umum lo yaa. Dekati temanmu dan kasi tau pelan – pelan, biar mereka bisa introspeksi diri dan merubah kebiasaan mereka.
Dan kamu, setiap orang pasti punya kekurangan kan. Kamu juga tanya temanmu kamu itu seperti apa. Kan biar sama – sama enak. Bisa ngoreksi diri masing-masing, gak ada cek cok. Kalau kita punya kebiasaan baik kan bisa diterima dan gak mengganggu orang lain.
Jadi, kalau kita sudah terlanjur berperilaku kurang sopan akibat lingkungan, baik keluarga maupun orang sekitar, sedangkan kita ingin berperilaku sesuai konteks sosial yang enak di pandang solusi terbaik yaitu kita intospeksi diri dan menciptakan ingkungan yang baik bagi orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H