Lihat ke Halaman Asli

Kakek

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com



Wajahnya yang ranum  di penuhi goretan siklikal, seperti anak TK yang belajar menggambar. Tak simetris awut awutan.

Tubuhnya memaksa dirinya berevolusi, dan kini dia berkaki tiga.

Waktu telah memasung tubuhnya untuk pasrah mengitari sunnatullah.

Dia kini di akhir  episode, aroma melati merebak sebgai rambu..

Meski ku tahu gagah perkasa jiwamu, menyala nyala bagai api abadi. Tapi ini kehendakNYA tubuhmu terperangkap dalam jasad yang reot itu.

Tapi kenapa menuju kelapukkan ini senyummu semakin merekah, menyingsing  seperti mentari di ufuk timur.

Ah,,gila diriku mengoceh di bingkai photonya. Dirimu kini berada di belakang masjid di lahat yang ciut itu, yang kau idamkan ..edankah dirimu

Kini kau tiada tapi wangimoe masih menyengat di kerumunan desa, di hati2 penghuni desa .

Linangan ini takkan mengembalikan dirimu bersama kami, dan kami tak tahu apakah dirimu masih mau bergumul dengan kami.

Bagi kami orang desa,  dirimu bukan kyai yang masghul dengan pertapaanya.

Bukan orang berdasi yang mulutnya selalu berbusa anyir.

Selamat tinggal kek,  izinkan cangkulmu menjadi jimatku

29 september 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline