Lihat ke Halaman Asli

Dengan Gerdema, Saatnya Desa Unjuk Gigi

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14163396951889374018

Judul buku          : Revolusi dari Desa

Penulis                : Dr.Yansen TP.,M.Si.

Penerbit              : PT Elex Media Komputindo

Halaman              : xxv + 180 hal, cet 1, 2014

ISBN                     : 978-602-02-5099-1



Testimoni

Membaca buku ini, seolah menjadi angin segar di tengah hiruk pikuknya kisah “kenyinyiran” yang terus gencar “dijeritkan” rakyat terhadap kinerja pemerintah yang terjadi akhir-akhir ini. Jujur saja, menyimak perkembangan berita saat ini, dimana hampir setiap hari hanya memaparkan kesalahan-kesalahan pemerintah (terutama kebijakan terakhir tentang kenaikan harga BBM), seolah seperti sedang menumbuhkan aura pesimis dalam diri saya, seakan-akan bangsa Indonesia, hanya sebuah bangsa yang sedang mengalami proses menuju kehancuran, dan tinggal menunggu tanggal mainnya saja, kapan kehancuran itu akan benar-benar terjadi.

Namun buku ini memberi nafas berbeda, memberi secercah optimisme, ditengah sikap pesimis rakyat yang makin meluas. Yup… buku “Revolusi dari Desa” ini begitu menyentak saya tentang makna pembangungan yang sesungguhnya, dimana sebelumnya kurang saya hayati maknanya. Entahlah… apa hanya saya saja yang selama ini kurang menghayati yah ? tapi jika saya saja yang merasa begitu, mengapa sikap pesimis ini seolah menjadi sikap mental yang “menjangkiti” hampir sebagian besar rakyat Indonesia ??. Saya sempat berpikir, jangan-jangan sikap pesimis yang melanda hampir sebagian besar bangsa Indonesia ini disebabkanbelum adanya penghayatan terhadap makna pembangunan yang sesungguhnya.

Sikap pemerintah yang kurang gigih mensosialisasikan makna pembangunan yang seharusnya seperti apa, mungkin bisa juga menjadi salah satu faktor pemicunya. Sehingga rakyat tanpa sadar terposisikan hanya sebagai objek, dimana pemerintah sebagai subjeknya,akhirnya “mental penuntut” dan “mental pesimis” yang kemudian terbentuk pada sebagian besar rakyat kita. Dan ujung-ujungnya pemerintah juga yang susah sendiri, karena semua beban seolah ada di pundak para pelaksana pemerintahan, dimana rakyat hanya terkena kewajiban sebagai “tukang protes” saja jika pemerintah melakukan kesalahan.

Padahal makna pembangunan yang sesungguhnya adalah saat semua beban ditanggung bersama, baik rakyat maupun pemerintah, sehingga saat pemerintah melakukan kesalahan, rakyat tidak hanya pandai bertugas sebagai “komentator” dan “kritikus” saja, namun ikut aktif juga memperbaiki kesalahan yang ada, dan saat rakyat memiliki “sense of belonging” yang tinggi terhadap negri ini, kritikan yang dikeluarkan pun tidak hanya sebatas pada bahasa “nyinyir” tiada ujung, namun penuh dengan tawaran solusi yang menyehatkan . Karena jika rakyat hanya bertugas sebagai “penonton” tanpa ikut dilibatkan dalam proses pembangunan yang ada, maka sehebat apapun pemimpin negri ini, carut marutnya kondisi bangsa tidak akan pernah selesai sampai kapan pun.

Saya acungi jempol untuk Dr Yansen, sebagai penulis buku ini, karena posisi beliau sebagai birokrat sekaligus ilmuwan, membuat penuturan bahasa buku ini begitu hidup, renyah dan mudah dicerna. Seolah teori-teori pembangunan yang sebelumnya saya pikir hanya ada di langit ketujuh saking mengawang-awangnya , ternyata bisa benar-benar saya rasakan dapat menapak bumi setelah membaca buku ini. Ini tidak heran, karena basic pendidikan beliau yang seorang Doktor Ilmu Pemerintahan ditambah pengalamannya selama hampir 26 tahun duduk dalam jajaran pemerintahan (dari mulai camat, sekertaris daerah, hingga jabatan terakhir sebagai Bupati Malinau), membuat teori-teori pembangunan yang beliau jabarkan dalam buku ini, terasa tidak hanya sebagai teori belaka. Bahkan orang awam seperti saya pun dibuat menjadi paham bahasa-bahasa teknis seputar ilmu pemerintahan, dengan membaca buku ini.

Ketulusan beliau membangun negri, begitu terasa dalam tulisannya, karena setiap kata yang dituturkan seolah bertenaga, dan memberi nyawa optimisme bagi saya saat membacanya. Saat posisi pemerintah yang selama ini seolah selalu menjadi “pihak tertuduh” sebagai penyebab carut-marutnya negri, beliau sebagai salah satu pelaksana pemerintahan, justru dengan lantang berbicara dalam tulisannya bagaimana seharusnya mental optimis membangun itu harus dihidupkan. Dan tanpa ragu, beliau juga memaparkan apa saja kesalahan pemerintah selama ini, sehingga makna pembangunan tidak pernah betul-betul hidup pada bangsa ini.

Isi

Pada bab awal, dengan lugas penulis memaparkan, apa sih kesalahan mendasar pemerintah selama ini, sehingga permasalahan klasik seperti kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia, keterbatasan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi semu seolah menjadi masalah yang tidak pernah selesai (halaman 3). Dimana semua itu terjadi karena model dan strategi yang dijalankan pemerintah tidak mampu menempuh aspek dasar, sehingga pemerintah harus menanggung permasalahan terus-menerus. Pemerintah cenderung melakukan kebijakan preventif persuasif yang bersifat temporer, dengan maksud hanya untuk menjaga keseimbangan masyarakat, namun akar masalah utamanya justru tidak pernah dicari solusinya (halaman 4).

Dilihat dari model kebijakan pemerintah sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, ternyata isinya masih serupa, yaitu pembangunan semu, sehingga walau angka pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan, dimana dapat terlihat dari naiknya angka GNP,GNB atau pendapatan per kapita, namun isyu utama pembangunan belum tersentuh, sehingga masalah kemiskinan, pengangguran, plus minimnya infrastruktur, sumber daya manusia dan informasi, masih saja terasa ( halaman 5 ).

Beliau mengutip sebuah quote bagus dari seorang ilmuwan besar, yaitu Albert Einstein “Gila, jika kita mengharapkan hasil berbeda dengan cara yang sama”, maka seharusnya pemerintah tidak melaksanakan kebijakan yang itu-itu saja jika mengharapkan hasil yang berbeda. (halaman 6). Pemerintah silih berganti menjalankan strategi yang sebenarnya isinya sama, ibarat barang dagangan yang hanya berganti kemasan (halaman 7).

Maka diperlukan sebuah langkah yang revolusioner untuk mengubah konsep pembangunan yang ada, dan penulis menawarkan konsep GERDEMA (Gerakan Desa Membangun), dimana konsep pembangunan bermuara pada pembangunan desa, dengan menaruh kepercayaan penuh pada rakyat desa (halaman 43).

Melihat komponen masyarakat yang terdiri dari wilayah kota dan desa, dimana jumlah desa jauh lebih banyak dibanding kota, maka sudah sewajarnya jika pembangunan memang harus bermuara dari desa. Namun sistem pembangunan yang sudah dijalankan selama ini justru berpusat pada masyarakat kota, sehingga rakyat beramai-ramai meninggalkan desanya lalu mengepung wilayah kota, dan akhirnya pemerintah kota menjadi kewalahan. Atau jika pun pembangunan desa mulai serius dilaksanakan, lebih kepada mengadopsi pola pembangunan masyarakat kota untuk kemudian diterapkan kepada masyarakat desa, tanpa memperdulikan sama sekali kekuatan desa dan kebutuhan warga desanya sendiri. Ditambah tidak diberinya kepercayaan penuh pemerintah desa oleh pemerintah pusat, sehingga kekuatan desa sendiri kurang tergali optimal.

Kekuatan desa sendiri terletak pada sumber daya alam dan jumlah sumber daya manusia yang sangat besar dengan kondisi multikulturalnya (halaman 101). Sehingga jika pola pembangunan masyarakat kota diadopsi begitu saja untuk pembangunan desa, tentu saja tidak cocok, karena potensi multikultural yang menjadi kekuatan desa menjadi terabaikan, dan potensi jumlah sumber daya manusia yang cukup besar pun tidak berfungsi maksimal. Dengan adanya pola pembangunan kota yang diadopsi oleh pemerintah desa, yang terjadi justru akulturasi budaya, dimana mengikis budaya desa dan memperbesar budaya kota, padahal budaya desa justru sumber kekuatan desa itu sendiri.

Dan konsep GERDEMA berusaha mengubah kesalahan konsep tersebut. Konsep GERDEMA sendiri bahkan sudah mendapatkan penghargaan yaitu “Innovative Government Award” 2013 dari Kementrian Dalam Negri. Sejauh ini pelaksanaan GERDEMA, seperti yang dituturkan buku ini, dinilai cukup baik di Kabupaten Malinau.

Apakah konsep ini memiliki kelemahan ? sebenarnya konsep atau paradigma yang baik justru dapat terlihat dari niat dan tujuan konsep itu baik atau tidak. Adapun konsep seolah terlihat menjadi salah, saat praktiknya mengalami penyimpangan. Maka penulis berkali-kali berkata, bahwa figur pemimpin dan aparat negara yang tulus dan jujur merupakan komponen utama berhasil atau tidaknya GERDEMA dalam membangun desa.

Pada tabel lampiran terlihat perubahan yang signifikan bagaimana kondisi masyarakat desa mengalami banyak kemajuan setelah diterapkannya konsep GERDEMA ini. Sehingga dapat diambil kesimpulan sepintas, konsep GERDEMA memang sangat cocok dijadikan pilar pembangunan negri secara global, dimana muara pembangunan negri berasal dari desa.

Pesan dan kritik

Buku yang sangat bagus dibaca oleh mahasiswa ilmu pemerintahan dan pejabat pelaksana pemerintahan, bahkan oleh seorang awam seperti saya, karena mampu membangkitkan optimisme membangun bangsa yang dimulai dari optimisme membangun diri. Sedangkan untuk kritik, baik secara konten maupun teknis penulisan, nyaris tidak ada, semua terbaca rapih dan sistematis.

Walaupun begitu tak ada gading yang tak retak, sedikit saja kritik saya untuk buku ini, yaitu mengenai cover, dengan gambar kupu-kupu terbang berlatar belakang warna biru, rasanya kurang mencerminkan isi buku ini. Sepintas melihat covernya, saya malah mengira ini novel. Namun sesuai dengan quote “Don’t judge the book by it’s cover, kurang pas nya desain cover, rasanya sama sekali tidak mengganggu pesan bagus yang ingin disampaikan oleh penulis buku ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline