Lihat ke Halaman Asli

21 tahun menunggu Listrik Negara

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir 21 tahun warga Desa Belangin, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, mengharapkan listrik dari pemerintah namun tampaknya hingga sekarang listrik hanya menjadi impian depan mata yang tak tahu kapan menjadi nyata.Aloisius Pius satu di antara warga Belangin, tampaknya sudah mulai pesimis dengan janji pemerintah yang akan mengaliri desa Belangin dengan listrik dari PLN (Perusahaan Listrik Negara).

“Wacana tentang listrik Belangin memang sudah lama, bahkan sudah ada sosialisasinya Maret lalu. Camat dan pihak PLN juga ada yang menjanjikan akhir 2011 atau awal tahun listrik sudah menyala namun realisasinya masih remang-remang,” ungkap Aloisius Pius, warga Belangin kepada Rawai Juli lalu.

Menurutnya, dari tahun 1997 sudah banyak yang datang ke Belangin, termasuk pihak PLN, anggota dewan hingga bupati ataupun wakilnya namun tetap saja belum ada tindakan nyata untuk membantudesa dengan 347 kepala keluarga ini untuk penerangan.

“ Wilayah trans yang paling dekat, tapi dari 1989 tidak ada listrik, kalau bupati duduk-duduk di teras saja, Belangin itu nampak, tapi sampai sekarang Belangin tetap saja tanpa listrik, ” tambah bapak yang akrab disapa Pius ini.

Menurut Pius surat penyataan dari pemilik kebun sawit yang menjadi kendala susahnya membangun jaringan listrik pun sudah ditanda tangani oleh warga, hingga yang ditunggu kini adalah realisasi janji pemerintah.

Selama ini masyarakat Belangin menggunakan genset dan pelita minyak sebagai sumber listrik yang digunakan untuk penerangan dan keperluan lainnya seperti televisi, setiap bulannya mereka setidaknya harus mengeluarkan Rp 700 ribu untuk bahan bakar listrik.

“Biasanya hanya bertahan sampai pukul11.00 malam saja, sehabis itu gelap kembali dan menggunakan pelita minyak tanah. Adanya konversi minyak tanah ke gas bukan malah menolong kami tapi makin menyusahkan karena harga minyak tanah akan sangat mahal nantinya,” ungkapnya.

Hal senada juga di ungkapkan oleh Melianus Lanin (27) yang baru menjadi warga Belangin tiga tahun belakangan ini, ia pun mengaku pesimis akan janji pemerintah yang akan mengaliri desa mereka dengan listrik.

“Dari tahun ke tahun kondisi Belangin ini dirasa semakin menurun, tidak ada perkembangan pendidikan begitu juga dengan kesehatan, kalau tidak ada kemauan untuk berubah, bisa-bisa kembali tertinggal dan terisolir, tidak bisa mengerti kenapa kondisi bisa seperti ini,” kata bapak yang juga berprofesi sebagai kepala sekolah SMP Muktitama ini.

Complicated Belangin

Banyak masalah yang dirasakan oleh warga Belangin, selain masalah penerangan mereka juga terkendala dengan akses jalan dan penyeberangan. Kondisi jalan yang tidak begitu baik ditambah lagi dengan tidak adanya akses penyeberangan.

Ada beberapa alternatif jalan untuk mencapai desa Belangin, satu di antaranya harus melewati sungai, sayangnya belum ada jembatan penyeberangan ataupun feri umum, yang ada hanya 1 buah feri milik perusahaan sawit itupun hanya berfungsi jika ada barang yang akan diangkut ke Sanggau, selain itu feri ini tidak jalan.

Pengendara sepeda motor yang ingin menyeberang dari atau menuju Belangin biasanya menggunakan jasa long boat yang ukuran bodinya cukup besar. Bisa memuat tiga buah sepeda motor dan beberapa penumpang sekaligus.

“Tahun 1997 kami pernah mengundang DPRD untuk melihat kondisi jalan yang notabenenya adalah jalan Pemda. Uniknya jalan di sini 95 persennya di tanggung oleh petani, sisanya perusahaan itupun sedikit, belum ada proyek pemerintah yang ada proyek petani,” tambah pak Pius saat sekolah demokrasi sanggau mengadakan kampung visit di daerah ini.

Bahkan pra Bro yang peserta diskusi warga dalam rangka kampung visit mengungkapkan bahwa perhatian pemerintah untuk Belangin nol besar padahal warga Belangin adalah warga yang aktif dalam membayar pajak.

Adakah Perhatian Untuk Sekolah Kami

Menyusuri jalanan desa Belangin, ada bangunan yang sangat kontras yang berdampingan, sebuah bangunan SMP swasta yang tampak hampir roboh, bahkan ada bangunan kelas yang sudah berubah menjadi tempat parkir karena dinding papannya sudah lapuk termakan usia.

SMP Muktitama, satu-satunya Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang ada di sana, tempat anak-anak Belangin yang ingin menuntut ilmu setelah lepas dari sekolah dasar. Muridnya memang tidak banyak jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah di ibukota kabupaten, jangan pula berharap dengan fasilitas sekolah yang memadai, di sini hanya ada delapan tenaga pengajar dan 35 orang siswa.

“Belangin mempunyai tiga buah SD negeri, tapi kalau SMP cuma ini satu-satunya. Ada SMP negeri namun letaknya 7 kilo dari sini, bagi mereka yang mampu bisa bersekolah di sana ataupun di Sanggau lalu bagaimana dengan nasib dengan anak-anak yang tidak mampu, mereka mau sekolah dimana, apa mesti putus sekolah, ” ungkap Dewo Kusnadi satu di antara tenaga pengajar yang ada di sana.

Rata-rata guru dan siswa-siswi di SMP ini adalah petani sawit dan anak petani sawit, walaupun sama sekali belum pernah terjamah bantuan pemerintah namun SMP ini selalu bisa masuk dalam peringkat terbaik bahkan pernah meluluskan 100 persen siswanya saat Ujian Akhir Nasional.

Alumninya pun sudah ada yang jadi dokter lulusan dari fakultas kedokteran Universitas Tanjungpura. Agar tidak tertinggal dari sekolah lain yang fasilitasnya mumpuni, SMP ini banyak mengikuti kurikulum SMP 1 Sanggau, mereka juga rajin berkonsultasi dengan guru-guru di sana.

“Dari tahun 1992, belum pernah ada kunjungan, bantuan pemerintah atau hibah pun belum ada, kita sering kali mengajukan ke pemerintah, perusahaan untuk membantu sekolah ini, namun belum ada tanggapan sampai sekarang,” tambah lelaki yang akrab disapa Lintang ini.

Aloisius Pius yang juga merupakan guru di Muktitama menambahkan mereka pun sering mengajukan permohonan penambahan tenaga pengajar dari dinas pendidikan agar mutu pendidikan di sana bisa meningkat, namun mereka hanya bisa menunggu dan menunggu permohonan mereka ditanggapi.

“Guru-guru di sini benar-benar bekerja sosial, tidak ada gaji tetap, honor dihitung satu jamnya Rp 4000, itupun dibayarkan 6 bulan sekali, jadi penghasilan di sini tidak bisa jadikan penghasilan utama,” tambahnya.

Walaupun dengan sejumlah keterbatasan, siswa-siswi di sana tetap bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Terdengar suara ibu guru sedang menjelaskan kala itu, suaranya lantang terdengar, kadang gurauan kecil terlontar dari mulutnya, membuat senyum mengembang dari bibir bocah-bocah berseragam putih biru itu.

Susunan bangku pun tak disusun berbaris ke belakang, tapi di susun melingkar, alasannya mungkin siswa yang tak banyak dalam satu kelasnya. Bangunan sekolahpun sudah super sangat sederhana dengan dinding papan kayu dengan lubang di mana-mana. Jendela kacanya pun alakadarnya.

Tampak pada sisi samping kanan, ada bangunan yang sedikit rapi karena berdinding semen, atapnya pun lebih bagus dan baru di banding sisi sebelahnya dengan seng yang sudah berubah warna menjadi cokelat tua.

Menurut pak Pius guru di sana ini sudah merupakan bangunan terbaik yang mereka miliki sejak sekolah ini pertama kali dibangun. Bisa dibayangkan betapa minusnya bangunan yang ad sebelum ini.

Sementara itu Kaur (Kepala Urusan)Pemerintahan desa Belangin, Fransiskus Sanusimengatakan bahwa pemerintah tidak semata-mata melupakan desa Belangin, buktinyaperhatian pemerintah untuk masyarakat Belangin ada sejak tahun 2009. Saat itu dilakukan rehabilitasi dan pembangunan kantor baru untuk SDN 66, lalu untuk SDN 72 dibangun lokal baru.

“Tahun 2010, dengan anggaran kurang lebih 130 juta ada program PNPM, pembangunan 3 buah jembatan di jalan poros Belangin, lalu dari dinas pendidikan membuatkan 1 buah perpustakaan di SD 72. Dinas PU (Pekerjaan Umum) melakukan pelebaran jalan Belangin Lintas Kapuas,” Ungkap Sanusi.

Ia menambahkan lagi pada tahun 2011 oleh dinas PU, dilakukan betonisasi desa padat surya RT 12 desa Belangin, sedangkan dalam bidang pertanian dibangun tempat pembuatan pupuk dan pengadaan 1 unit hand traktor.

“Untuk listrik sudah ada sosialisasinya tahun 2011 ini, dan pemerintah menjanjikan menyala. Masyarakat harus mengerti dan paham bagaimana kerja pemerintah selama ini,” tambah Sanusi. (yuni herlina)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline