Lihat ke Halaman Asli

Keselarasan Etika dan Estetika

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selaksa cahaya hening malam yang mengitari bumi dalam senyum yang kelam, menggoda hati tuk merasakan satu perasaan yang belum pernah dialami oleh diri, menguak segala bentuk pemikiran otak yang tersumbat dengan kesenangan duniawi yang tak selaras takarannya. Di kala hati mulai jenuh mengalah dan lelah bertarung dengan pemikiran subtantif manusia, tampaknya kesunyian adalah satu-satunya solusi kongkrit yang efektif merefress segala bentuk ketamakan jiwa akan suatu etika dan estetika.

Ketika semua sama-sama mempertahankan ego yang dimiliki manusia, maka kearifan yang telah menjadi satu hal mendasar yang dimilikinya juga ikut luntur, seiring dengan kemenangan-kemenangan visi yang hampir tak mungkin dapat dilogikakan, menjadi satu pertimbangan khusus untuk menindak lanjuti hasrat manusia akan sebuah 3 G (glory, gospel, and gold). Bukan tidak mungkin jika visi yang disampaikan adalah satu bentuk targetan pribadi yang kemudian dicanangkan sebagai milik bersama. Membaca sebuah ketakutan yang tersirat dalam raut muka manusia, yang mulai masam dengan kehidupan sosial, ketakutan untuk mengakui ketakmampuannya dalam menjalankan satu bentuk tindakan real yang diidealkan ada.

Manusia adalah mahluk yang sejatinya memiliki nafsu dan akal, jika keduanya di kolaborasikan dengan baik, maka akan menjadi satu panutat yang patut, namun jika mereka tidak mengkolaborasikannya dengan baik, maka bisa jadi pemikiran itu akan berbanding terbalik dengan yang seharusnya. Keselarasan masih harus bergelut dengan takaran yang dimiliki manusia, jika takaran manusia tentang keselarasan hanya sampai pada sebuah konsep pencapaian ideal, tanpa menimbang adanya proses, dan kenyataan yang harus dilalui, juga adanya sebuah kebijakan lain maka manusia telah menunjukkan indikasi, bahwa mereka kehilangan satu unsur kehidupan yang menjadi dasar dalam diri mereka, yaitu kearifan.

Orang yang justru pandai menunjukkan kesalahan orang lain, adalah mereka yang kurang bisa melihat bagaimana sesungguhnya orang lain itu meraih visi dengan misi yang dibawanya sendiri, mereka itulah yang justru kurang baik dalam menyikapi suatu permasalahan real, ideal bukanlah satu hal mutlak yang harus dicapai, namun paling tidak sebuah kata “ideal” adalah pandangan manusia terhadap tujuan yang harus dicapai, sebagai gambaran nyata yang tak mengabaikan pencapaiannya.

Kenyataan bahwa kedewasaan dalam menyikapi suatu permasalahan sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mencapai keselarasan tanpa mengorbankan hal lain yang mungkin ada. Kedewasaan dalam bertindak juga dapat menjadi satu solusi untuk meraih tujuan tanpa mengesampingkan adanya keselarasan etika dan estetika. Tau di mana tempat kita berada seharusnya juga satu hal yang dapat membuat kita bertindak secara dewasa, memacu kecerdasan dalam menyikapi permasalah. Namun nyatanya belum banyak orang yang mampu menyikapi satu permasalahan dengan dewasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline