Serba-serbi Pemilu dan Lahirnya Partai Modern di Indonesia
Pemilu legislatif memang sudah selesai dilaksanakan. Beribu cerita hadir dan muncul pasca proses demokratis yang diikuti oleh 13 partai tersebut. Berbagai kisah akhirnya memang mewarnai layar kaca kita pada hari-hari ini. Cerita yang berisi kisah haru, heroik, kecewa, jenaka, hingga unpredictable akhirnya menjadi sebuah etalase cerita yang menarik untuk dijadikan bahan diskusi kita di rumah-rumah kita, di kedai-kedai kita dan di manapun tempatnya. Selalu saja cerita-cerita itu tidak pernah habis untuk didiskusikan.
Diantara kisah-kisah itu, maka mungkin kisah yang paling tragis untuk kita diskusikan adalah yang berkaitan dengan banyaknya calon anggota legislatif atau partai untuk melaju ke gedung rakyat, baik DPR, DPD, DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten. Ada kisah tentang para pemimpin dari partai-partai besar yang gagal ke Senayan. Padahal mereka adalah orang-orang besar di partai mereka masing-masing. Nama-nama besar seperti Marjuki Ali, Sutan Batugana, Nurul Arifin, dan lain-lain dikabarkan tidak “bermarkaz” di Senayan lagi. Tokoh-tokoh tersebut padahal adalah orang-orang yang cukup berpengaruh di partai mereka masing-masing.
Cerita yang lain dari betapa heroiknya Pemilu legislatif kemarin adalah tentang para caleg yang gagal dan “menyita” semua “pemberian” yang sudah diberikannya kepada rakyatnya tersebut untuk diminta kembali. Terplenonya politik transaksional yang dilakukan oleh para caleg tersebut secara tidak langsung membuat sebuah kesimulan negatif tentang caleg-caleg tersebut.
Dari kisah yang lain, muncullah kisah para partai yang akhirnya harus terpecah belah karena terlalu banyaknya kepentingan dan “nafsu” yang menyelimuti para petinggi partai tersebut. Kita mungkin masih ingat betapa sulitnya kekaisaran Soekarno menerima penunjukan Jokowi sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan. Guruh Soekarno Putra, sebagai salah satu pemilik sah penempelan nama Soekarno pada nama belakangnya sempat mengatakan bahwa Jokowi masihlah terlalu muda dan dini untuk menjadi calon presiden. Karena masih adanya keluarga Seokarno yang secara posisi sangatlah berpengaruh dan penting sekelas Megawati Soekarno Putri. Atau kita mungkin masih ingat pertikaian yang terjadi ketika masuknya Harry Tano (HT) ke dalam keanggotaan Partai Hanura. Dan kemudian langusng menduduki posisi yang sangatlah penting, Cawapres Wiranto, sang Pendiri Hanura. Atau mungkin kita juga masih ingat bagaimana kisruhnya para pejabat-pejabat di Internal Partai tertua di Indonesia yang sudah bertahun-tahun pada zaman Orde Baru dahulu senantiasa memenangkan Pemilu, Golkar, Ketika akan menempatkan Abu Rizal Bakri sebagai Calon Presiden dari partai belambang beringin tersebut. Banyak petinggi Golkar yang akhirnya tidak setuju dengan pencapresan ARB sebagai capres Tunggal Partai Golkar dan tidak menggunakan sistem Konvensi seperti yang dahulu pernah dilakukannya. Dampaknya adalah munculnya nama-nama seperti Jusuf Kalla, Akbar Tandjung yang dikabarkan juga “ngebet” menjadi capres dari partai Golkar. Atau mungkin kita juga masih ingat betapa peliknya kisruh yang terjadi di internal Partai Persatuan Pembangungan. Ketika akhirnya harus menarik “lamaran” yang diberikan oleh Gerindra kepada partai tersebut karena konflik dahsyat yang terjadi akibat kedatangan SDA dan dukungan SDA kepada Prabowo sebagai Calon Presiden dari PPP. Atau kisruh yang terjadi di internal PKB yang akhirnya melempar sang Raja Dangdut, Roma Irama dari belantika pencapresan di partai bentukan Gusdur tersebut. Atau Kisah Mahfudz MD yang akhirnya di “PHP” in oleh internal PKB. Padahal baik Mahfudz atau pun Bang Haji adalah orang yang telah terbukti “mengembalikan” suara PKB atau menggiring suara para pecinta dangdut yang banyak di Indonesia ini untuk memilih PKB sebagai pilihan politik mereka pada 9 April yang lalu.
Pemilu 9 April kemarin memang juga mengisahkan tentang kegagalan kaderisasi yang dilakukan oleh beberapa Partai Politik. Hadirnya sosok lama dengan “bungkus” baru merupakan bukti betapa ada yang salah dari kaderisasi partai-partai tersebut. Kehadiran sosok seperti Wiranto di Hanura, Kekokohan Megawati di Puncak PDI Perjuangan, Prabowo Subianto sebagai “Losser” pada tahun sebelumnya membuktikan bahwa “wajah” wajah itu masihlah belum bisa menyerahkan semua kendali negara ini kepada kaum muda. Mengapa kaum muda? Sebab merakalah sekarang yang dikenal sebagai native demokrasi indonesia di Pemilu 2014 ini. Mereka pulalah yang secara sejarah tidak berhubungan dengan “Dosa” masa lalu dan ingatan suram masa lalu.
Kita juga mungkin ingat dengan kisah membosankan dan tidak menarik ketika ada sebuah organisasi LSM yang katanya di awal-awal ingin memberikan sebuah restorasi di bangsa ini namun bukan dengan jalan politik melainkan melalui sarana kemanusiaan. Nyatanya, setelah beberapa bulan berikutnya “Nafsu” kekuasaan yang awalnya ditutupi dengan lembaga masyarakat itu pun muncul sebagai Partai Politik dan menjadi salah satu partai “Penguasa Televisi” (Karena Capresnya Punya stasiun TV. Dan Kalau da berita tentang partai tersebut bisa 10 menit sendiri disiarinnya).
Setidaknya pemilu kemarin sudah membawa banyak cerita bagi bangsa Indonesia menuju kedewasaannya. Itulah yang akhirnya membuat kita mampu menjadi lebih dewasa dibandingkan hari-hari sebelumnya. Atau
Hanya yang kuatlah yang bertahan : Partai Modern
Pemilu 9 April kemarin nyatanya juga menyimpan sebuah fakta sejarah tentang partai modern yang hari ini sedang dinanti-nanti oleh bangsa ini. Partai yang hadir bukan dengan kekuatan massa yang mudah berpindah dan terpengaruhi. Bukan pula yang dipilih karena kharismatik seseorang yang atau karena ada seseorang. Tetapi partai yang dipilih berdasarkan sistem kaderisasi dan pewacanaan yang kuat. Itulah partai yang nantinya benar-benar dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang menuju kepada kemodernan berfikir dan demokrasi Indonesia. Partai inilah yang partai itu pulalah yang akhirnya membuat kedewasaan berpolitik bangsa Indonesia semakin hadir dan berkembang di masyarakat layaknya negara-negara demokrasi lain seperti Inggris ataupun Amerika Serikat.
Salah satu partai yang akhirnya kuat dan mampu bertahan di tengah gonjang-ganjing politik Indonesia menuju kematangannya adalah Partai Keadilan Sejahtera. Bagaimana tidak? PKS berhasil membuktikan bahwa hanya PKS lah satu-satunya partai yang minim dari perpecahan atau kisruh internal disaat yang lain mengalaminya. Hal ini dapat kita lihat dari betapa mudahnya proses pemilihan Presiden partai di dalam tubuh PKS. Tidak ada satupun yang merasa kecewa. Atau tak satupun para calon presiden PKS itu yang setelah proses muktamar dilakukan kemudian membuat sempalan-sempalan baru dari partai tersebut. Atau minimal menggembosi presiden partai yang terpilih. Apalagi kemudian “menjebak” Presiden terpilih untuk digantikan oleh orang lain. Semua berjalan di atas kaidah Ukhuwah atau Kebersamaan. Selama yang penulis lihat, malah banya diantara mereka yang tidak menginginkan jabatan-jabatan publik yang strategis tersebut. Namun ketika partai menempatkan dirinya untuk mendapatkan jabatan tersebut, barulah mereka menaati dan menjalankan semua amahnya tersebut dengan maksimal. Rasanya saya tidak pernah mendengar ada Calon Anggota Legislatif dari PKS yang kecewa karena kebagian nomor urut jauh atau menyogok agar mendapat nomor urut awal-awal.
PKS juga terbukti berhasil mengkaderisasi dirinya menjadi partai yang memiliki stok calon pemimpin yang senantiasa saling menggantikan. Kita mungkin ingat bagaimana kepemimpinan Tifatul Sembiring ketika pemilu 2009 yang lalu. Kita juga mungkin ingat bagaimana Hidayat Memimpin peraihan kursi DPR dan DPRD pada tahun 2004 yang lalu. Atau kita mungkin juga masih ingat bagaimana Nurmahmudi Islamil memimpin PK yang merupakan nukleusnya terbentuk PKS. Dari segi Calon Presiden, PKS mungkin salah satu partai yang menghadirkan alternatif pilihan di tengah kebosanan masyarakat dengan calon-calon yang ada. Sosok Anis Mata, Ahmad Heryawan dan Hidayat Nur Wahid dirasa adalah alternatif kebuntuan demokrasi di Indonesia.
Salah satu masalah yang paling sulit dari sebuah partai politik adalah ketika ada diantara petinggi partai politik tersebut yang kemudian memiliki “cacat”di tengah masyarakat, baik secara sengaja atau pun tidak disengaja. Dan PKS adalah salah satu partai yang cukup kuat untuk menghadapi permasalahan itu. Hal ini dapat terlihat betapa kuatnya PKS ketika kasus Suap Sapi akhirnya membuat sang Presiden partai yang pada awal berdirinya itu memiliki Platform Bersih, Peduli dan Profesional itu. Partai ini hadir dan berhasil menghancurkan prediksi para pengamat politik yang mengatakan bahwa PKS akan hancur dengan larinya para konstituen PKS dan PKS tidak akan melebihi Parlementary Treshold. Kenyataannya hari ini PKS melebihi Parlementary Treshold tersebut dan bahkan dibeberapa daerah peraihan kursinya mengalami kenaikan. PKS terbukti telah berhasil menunjukan kemodernnanya. Bahwa pilihan politik dan sistem bukanlah dipengaruhi oleh Siapa, melainkan dipengaruhi oleh Bagaimana. Toh sampai saat ini akhirnya kita mengetahui betapa ada “permainan” yang terlihat seperti ingin menjatuhkan PKS dengan kasus Sapi tersebut. Sebab hingga saat ini pegadilan belumlah memutuskan kesalahan sang mantan presiden partai tersebut.
PKS juga telah terbukti menjadi satu-satunya partai yang paling rapih struktur dan segala jaringannya. Hal ini dapat terlihat dari beoata solid dan lengkapnya seluruh Saksi dari PKS selama hajatan demokrasi 9 april kemarin. Betapa lengkapnya Form C1 yang dimiliki oleh para saksi dari PKS. Dan Betapa kerasnya kerja dari para saksi dari partai ini hingga tingkat kecamatan atau kelurahan. Itulah sebabnya salah satu alasan mengapa PKS akhirnya belum sesumbar dengan nafsunya ketika melihat hasil Quick Count yang di realese oleh beberapa lembaga survey untuk kemudian membuat koalisi. Sebab masih ada banyak kader PKS yang bekerja menjaga amanah masyarakat di KPU kabupaten, Kota atau yang lainnya. Sebab memang KPU belum mengumumkan secara resmi perolehan akhir semua partai politik pada pemilu 9 April yang lalu.
Kekuatan Partai juga terlihat dari bagaimana kemampuan partai tersebut mengadaptasikan dirinya dnegan segala perubahan yang ada di dunia global maupun nasional. PKS juga berhasil membuktikan hal tersebut. Kita mungkin dapat melihat dari proses panjang gerakan tarbiyah yang menjadi cikal bakal terbentuknya PKS dahulu. Betapa banyak yang akhirnya berubah secara tidak prinsipil dan kemudian membawa kebaikan bagi partai tersebut.
Ketika ada kekecewaan dan kesedihan di kalangan para Caleg yang gagal ke gedung rakyat akibat sedikitnya perolehan suara mereka, namun menariknya ada beberapa orang yang malah melakukan sujud syukur dan berucap Alhamdulillah setelah mengetahui bahwa dirinya telah gagal untuk menjadi Anggota Dean. Padahal telah banyak uang dan pengorbanan keluar agar dirinya dapat tembus menjadi salah satu wakil rakyat. Hanya sebuah kalimat sederhana keluar dari mulutnya :”Ya anggap saja itu semua infaq dalam perjuangan ini”. Tidak ada kekesalan atau hingga menutup akses jalan di masyarakat karena dirinya gagal dipilih. Dia berbahagia karena telah berkontribusi untuk bangsa ini.
Sebagai orang yang berada di luar partai itu, saya merasa bahwa masa depan partai ini memiliki masa depan yang sangat baik. Apalagi keberadaan partai ini akhirnya telah membuat sebuah kedewasaan yang menarik untuk dunia perpolitikan Indonesia. Mungkin pada beberapa tahun kedepan PKS dapat menjadi partai terbesar di Indonesia. Layaknya AK Parti yang berada di Turki dan kemudian memberikan angin yang cukup segar bagi perkembangan politik dan masyaakat di Turki saat ini. Semoga PKS dapat menjadi besar dan sehingga mengejewantahkan semua platformnya di Indonesia. Mungkin hanya PKS sajalah satu-satunya partai yang telah menjual bebas Buku platformnya jika berkuasa di Indonesia. Selamat kepada PKS yang telah mengajarkan politik secara santun di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H