Lihat ke Halaman Asli

Pasangan yang Mulia di Bulan Mulia

Diperbarui: 14 Juli 2015   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - pasangan kakek-nenek (Kfk.kompas.com)

Katakanlah ini adalah dorongan dari Yang Maha Kuasa agar saya kembali menulis sebuah kisah. Kisah yang saya alami sendiri dan dibagi ke teman-teman sekalian agar turut mendapatkan hikmahnya. Sejujurnya, belakangan saya memiliki banyak kisah yang ingin disampaikan dalam tulisan. Namun dengan alasan malas dan menunggu pertanda dari Yang Maha Kuasa saya pun urung menuliskan. Ada dua kisah yang luar biasa di hari ini (Senin,13 Juli 2015) namun saya baru menuliskan satu cerita saja terlebih dahulu. Ini pun saya potong menjadi dua bagian karena panjang sekali. Weiiew.

Dan beginilah ceritanya..

Katakanlah saya mengenal beliau di kantor tempat saya bekerja,Yayasan Pendidikan Dompet Dhuafa yang mana setiap pagi dengan tertatih-tatih menenteng plastik yang berat di tangan kanan dan kirinya. Belakangan saya tahu penyebab jalan yang tertatih-tatih tersebut dikarenakan sakit asam urat yang sudah lama dideritanya. Usianya sekitar lima puluh tahunan, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, gemuk dan jika tersenyum maka gigi-ginya yang mulai ompong di kanan dan kirinya akan terlihat jelas tapi tentu saja hal tersebut tidak mengurangi senyumnya yang selalu menyampaikan ketulusan. Kulitnya sawo matang dengan garis wajah yang mengikuti orang Jawa, lembut dan ayu.

Dalam plastik tersebut berisi gorengan tahu, bakwan, lontong, mie goreng, nasi goreng, siomay, dan kadang pempek. Penuh. Banyak. Makanan inilah yang selalu dinanti teman-teman saya di kantor untuk mengganjal perut hingga siang nanti. Singkat cerita, saya pun akhirnya dekat dengan beliau dan semua itu berawal ketika suatu hari bertanya ke beliau mengapa beberapa hari tidak datang ke kantor dan membuat kami (para pecinta sarapan dengan gorengan dan lontong) sedikit kelimpungan. Beliau pun bercerita tentang sakit asam uratnya yang sudah parah hingga membuat tidak bisa beraktivitas banyak, juga suaminya yang ikut-ikutan sakit darah tinggi sehingga mereka berdua tidak bisa berjualan.

Sewaktu saya singgung ke mana anaknya, beliau pun menyampaikan dengan tenang bahwa mereka tidak dikaruniai anak. Saya pun terdiam, simpati. Waktu berjalan dan hubungan kami pun semakin dekat, tak jarang saat bertemu entah saat beliau mengantar dagangannya atau mengambil uang dagangan di sore hari biasanya kami akan berbincang-bincang singkat. Entah beliau yang menceritakan perkembangan kesehatannya atau tentang saya yang sedang banyak keluar kantor sehingga tidak bisa (lagi) sering bertemu beliau. Hal-hal sederhana yang bagi saya istimewa yang dilakukan seperti menitipkan makanan mulai dari pempek, soto ayam, siomay, mie goreng hingga pisang yang katanya baru berbuah di halaman rumahnya.

Dalam kesempatan lain, beliau pun tak sungkan untuk menelepon saya sekedar bertanya kabar karena katanya sudah lama tidak melihat saya ke kantor. Sampai sejauh ini saya pun tersentuh dengan semua perlakuan istimewa kepada saya. Mengingat saya yang anak kost dan jauh dari orangtua (kantor-rumah abah sekitar 2,5 jam) bertemu dengan beliau cukup membuat hati senang karena ada juga yang memperlakukan saya di sini (tempat saya bekerja dan ngekost) selayaknya anak sendiri. Hingga tibalah hari ini, hari di mana saya bisa mengenal lebih dalam lagi dengan sosok yang jauh dari gemerlapnya dunia.

Sore ini badan saya kurang fit karena sejak kemarin saya memang sakit karena itu rencana abah saya mau menjemput ke kost. Jadi rencananya sepulang kerja saya tinggal duduk manis di kost dan menunggu jemputan abah kesayangan. Namun ternyata, abah membatalkan datang karena ada tetangga yang meminta bantuan untuk mengantar ke rumah sakit. Dalam sebuah grup whatsapp kantor dikabarkan ada buka puasa bersama di Rumah Sehat Terpadu Dompet Dhuafa yang letaknya persis di seberang kost saya. Karena menghindari makan sendiri di kost dan bertemu orang-orang baru saya pun semangat untuk ikutan buka puasa tersebut tentunya dengan stamina yang kurang dari 100 persen. Namun, belum sampai di seberang, baru saja di halaman kost, Ibu yang kerap saya panggil dengan Bu Yeti menelepon dan menceritakan bahwa hari ini beliau memasak ikan pesmol dan mengundang saya berbuka puasa di rumahnya.

“Mbak Dini buka puasa di sini ajah, Ibu masak pesmol, ada pempek, ada kerupuk mie,” katanya dengan semangat. “Tapi ya rumahnya gubuk, masih mau gak Mbak?” tanyanya dengan ragu. “Oke baiklah Bu. Sip saya mampir ya karena besok kan saya sudah pulang ke rumah Abah dan kapan lagi saya bisa buka bareng sama ibu dan bapak,” jawabku semangat dengan badan yang sebenarnya lemas.

Saya pun melangkahkan kaki dengan ringannya. Begitu keluar dari gerbang kost, angkot 07 tujuan Parung-Bogor yang berwarna hijau daun langsung berjalan pelan dan berhenti di depan saya. “Oke baiklah mungkin ini pertanda baik,” gumam hati.

Sesampainya di depan Komplek Telaga Kahuripan, saya pun langsung mengingat petunjuk dari Bu Yeti,”Mba Dini naik ojek dari depan Kahuripan, terus minta turun di gereja POTK, nah gubug itu persis di samping gereja yang ada empangnya”, pesan Bu Yeti terakhir sebelum menutup telepon awal tadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline