Lihat ke Halaman Asli

Malaikat dan Istananya di Mega Kuningan

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sabtu lalu [6/9], setelah bantu kakak pindah rumah saya pun segera meluncur ke Jakarta,daerah Kuningan untuk bertemu dengan seorang Bapak. Sebelumnya kami hanya berbicara melalui whatsapp, telepon dan juga email.Kami bertemu karena seseorang yang kini telah menjadi teman kami berdua dan sekaligus idola bersama, Ayke Agus. Yup, Ayke Agus,seorang violist dan pianis kelas dunia rencananya akan kembali datang ke Indonesia! Saat Ayke mengabarkan kedatangannya kembali ke Indonesia melalui email  sebulan yang lalu, seketika itu juga saya meminta beliau untuk mampir dan sharing bersama Komunitas Biola Depok, tempat saya berkomunitas dan belajar.

‘Pinangan” saya yang tidak yakin bakalan diterima ternyata malah disambut dengan antusias oleh Ayke. Tentu saja saya senang tidak ketulungan. Kemudian, barulah terpikir dimanakah beliau akan performance?Saya pun jadi bingung. Lalu, tetiba saya mendapatkan kabar dari Ayke kalau kedatangannya dan persiapan untuk sharingnya akan dibantu oleh teman baiknya di Jakarta, sebutlah Pak GR.

Demikianlah akhirya, saya dan Pak GR berkenalan. Sampai akhirnya saya diundang ke rumahnya untuk berbincang tentang persiapan Ayke. Saat mendapatkan lokasi tempatnya berdiam, saya tahu bahwa beliau pasti bukan orang sembarangan. Tinggal di kawasan Kuningan dan berdampingan dengan komplek Perumahan Menteri. “Oke baiklah, terus maju dan percaya diri saja”, pikirku saat itu. Benarlah prasangka saya. Rumahnya benar-benar besar gak karu-karuan, serasa satu barisan di komplek perumahan tersebut adalah rumah beliau. Tentu dengan tambahan pemandangan jajaran mobil mewah dari berbagai jenis dengan warna-warni.

Saya datang menggunakan ojek, selain untuk menghemat ongkos [gak perlu pakai taksi] juga untuk menghindari macet yang menjadi “kesayangan” dari ibukota tercintah, DKI Jakarta! Lebih daripada itu, Saya pun tidak  mau membuat kesan pertama ini menjadi berantakan gegara terlambat!

Sampailah saya di gerbang depan rumah beliau. Gerbangnya menjulang tinggi, berwarna coklat dengan ukiran-ukiran yang menarik. Kemudian di depan saya celingukan mencari bel untuk dipencet, aha, ketemu juga! Di samping bel ada juga kotak dengan speakernya, “ Selamat siang,saya Dini dari Bogor sudah ada janji dengan Bapak GR jam 2.30 siang ini”,ujar saya kepada si kotak ‘ajaib”. Lalu seketika sang kotak ajaib pun membalas, “Oh iya mba Dini, silahkan masuk. Sudah ditunggu oleh Bapak”, jawab seorang wanita yang saya perkirakan berusia 20-30 an. Gerbangpun seketika terbuka secara otomatis.

Saya pun masuk dengan mantap. “Bismillah,” doa saya dalam hati! Pintu rumah masih tertutup, belum ada seorang pun yang keluar untuk mempersilahkan masuk. Waktu menunggu pun saya manfaatkan untuk cek dan ricek penampilan di kaca mobil. Maklum saja, habis diajak ngebut sama tukang ojek. Oke, semua sudah pada tempatnya, pasmina oke, baju oke, sudah cukup kece walau sedikit bau asap kendaraan. Tapi yasudahlah, nasib, pikir saya! Lalu tetiba, datanglah seorang mba yang saya perkirakan adalah si pemilik suara dari kotak ajaib tersebut. “Mba Dini, silahkan masuk, Bapak sudah menunggu”, kata mba dengan sopan. “Terima kasih kakak,” balas saya sembari senyum.

Masuklah saya ke sebuah ruang yang “unik” dan yang tentunya adalah ruang bagi tamu yang datang untuk menunggu sang empunya rumah. Ruang tamu tersebut tidaklah besar. Seperti diperuntukkan hanya untuk tamu dengan jumlah hitungan jari. Ketika masuk ke dalam, tamu akan disambut dengan kaca besar seukuran badan dan juga lebarnya dua kali badan saya [sumpah gede banget nih kaca] lalu di sampingnya ada keramik cantik nan antik dari negeri bamboo yang berjejer rapih mengapit kaca besar tadi. Selanjutnya dipojok kanan, akan kau temukan tongkat penyangga untuk meletakkan partitur.  Tak lupa juga dengan partiturnya yang terbuka lebar dan dipenuhi dengna not-not balok dari Romance, Violin Concerto in D major, Op. 61 (1806),Bethoveen. Ahaaa, apakah Bapak GR ini juga seorang violist?”, tanya saya dalam hati.

Sayapun segera duduk di sofa yang lumayan besar untuk diduduki seorang diri. Lalu kemudian, sang mba yang lain mendatangiku dan menanyakan minuman yang ingin saya minum. “Cappucino ada mba?”, tanya saya.[Berasa sedang di warung kopi, hehe] “Oh, ada mba!”, jawab sang mba dengan senyum. “Terima kasih ya”, balas saya kemudian.

Tidak lama kemudian, muncullah Bapak GR dengan kaos bermotif garis-garis coklat, celana pendek santai dan tentu saja senyum yang langsung hadir saat saya menyapanya dengan riang, Pak GgggggggRrrrrr, apakabar?”, tanya saya  sambil pasang senyum lebar-lebar dan menjulurkan tangan untuk salim [baca:cium tangan]. Tubuhnya tegap, aura wibawa-nya terpancar, matanya yang tajam tersembunyi dibalik kacamata-nya. Dilihat dari wajahnya terlihat bahwa darah tiongkok mengalir deras di dalamnya. Rambutnya hampir semua memutih namun dari cara jalan dan posturnya yang tegap saya pun menaksir beliau berusia sekitar 60-an.

Tanpa berbasa-basi, pembicaraan pun langsung mengenai persiapan Master Class Ayke Agus di November mendatang. Mulai dari tempat, konsumsi, peserta hingga anggaran yang perlu dikeluarkan. Pembicaraan tentang persiapan bisa dikatakan hanya berlangsung 15 menit namun dua jam berikutnya adalah perbincangan yang lebih menarik. Beliau bercerita tentang sejarah bangsa, kisah para warga tiongkok di jaman Belanda, sejarah orchestra radio di Jakarta, hingga konflik agama yang kerap terjadi di negeri ini dan dunia.  Saya yang memang suka sejarah juga jadi asyik mendengarkan beliau. Ditambah lagi saat beliau ceritakan tentang kisah keluarga dan leluhur beliau yang ternyata seorang pedagang besar dan juga pegawai tinggi di zaman Kompeni!

Saya yang mendengarkannya, tak habis-habis berdecak kagum tentang sepak terjang ayah dan juga kakeknya dalam perjuangan kemerdekaan! Entah berapa puluh kali saya mengatakan, “waaah hebat..Subhanallah keren, Masya Allah luar biasa”. Bukan bermaksud berlebihan, tapi memang demikianlah adanya. “Keluarga saya saat itu menyisihkan sebagian besar pendapatan untuk membantu saudara-saudara [baca:rakyat biasa] makan setiap harinya. Melakukan segalanya untuk membantu para pejuang. Dilakukan tentu diam-diam dengan taruhan nyawa karena jika ketahuan pasti akan dihukum berat mengingat berasal dari pegawai tinggi”, cerita beliau dengan berapi-api sambil sesekali menyecap kopi yang datang bersamaan dengan Capucino pesanan saya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline