Lihat ke Halaman Asli

Sute Senja

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Paginya hilang entah, tertelan bumi pertiwi nan raya. Langitnya kini pun tak seperti langitnya dulu. Selalu tertutup oleh tebalnya embun walau kemarau. Satunya adalah dua baginya. Tak tahu kenapa kini mereka terpecah dan terlanjur sudah. Nasinya tak hanya menjadi bubur,tapi membaur lah dengan tanah. Semuanya tercecer, begitupun harga diri keduanya. Senjanya hanya fana, karena mereka tiada daya. Apalah itu daya mereka, ya hanya ini dan itu saja. Ibarat hidup, hanya seujung kuku, secahaya lilin dan sehelai benang. Bukannya mereka sekarat karena menua, lha wong nuraninya saja balita. Konyol memang,di usia nya yang memuncak uzur tapi polahnya menyedihkan. Begitulah kisah mereka, sepasang dara tanpa sayap dan tanpa muka. Dan hendak tertutup lah semua itu oleh ketegaran, keikhlasan dan ketabahan sukma semata.

Nampak di ujung belahan pertiwi, gubuk itu semakin sepi, tertampar angin sawah sepoi-sepoi. Terihat, daun gugur melangkah ke seberang jalan yang nampak gersang. Ribuan debu menyerbu jalanan.Tak tahu apa sebabnya, rumah itu terasa panas saja. Burung untuk berkicau pun enggan, mungkinkah orang seberang pagar mau datang. Di gubuk itu, hiduplah pasangan suami istri yang kurang. Surti dan Tejo juluknya. Hari ini rupanya telah termakan oleh hari-hari, sama saja seperti Tejo yang termakan oleh bininya. Mulut Surti memang lebih doyan membara dari pada padam. Tersimpan api-api dari tungku perapian yang tertelan di lubang kerongkongannya. Belum sempat melongokan matanya lebar-lebar, suara Surti mulai menyerang gendang-gendang, memekik ke liang-liang, dan menidurkan syahdunya alam pedesaan.

“ Tejo…bangun kau ! Bukannya cari gabah sana, malah enak-enakan kau menidurinya. Kalau aku jadi dia, iihh…mana sudi, belum puas kah kau membasahinya ?” sentak Surti siang bolong.

Seakan menelan karang tajam, Tejo pun lekas berayun ke pancuran. Ia hempaskanlah bantal guling kesayangannya itu. Kumal, bau, dan penuh pulau-pulau buah bunga tidurnya. Entah karena apa akhir-akhir ini mulut Surti memang begitu pedas, rawit pun tiada banding dengannya. Untunglah, Tejo tak bernafsu tuk meladeninya. Dan bila iya, mungkin…jago merah akan mematuk-matuk gubuk itu lampau hari. Sedekade sudah mereka berdua menikah, tapi malang anak seorang tiada yang menjelang.

Dari seberang pagar,raut Surti Tejo pun tampak bosan dari dalam sangkar, yang dilihat lagi-lagi mereka, bisik-bisiknya pun kian terdengar lantang. Tak tahu pula apa saja yang telah mereka dengar. Entah, hanya dari desisan anginlah mereka mendengar. Nafas mereka kian terdengar kembang kempis, menerpa celah dinding bambu yang gosong akibat perapian.

“Jo , kamu dengar tidak ?” Tanya Surti lirih.

“Dengar apa Sur ?” sahut Tejo mengusap mukanya yang gosong.

“Itu lo Jo, mereka apa nggak capek ya ngomongin kita terus ?”sahut Surti sinis.

“Sudahlah Sur,” ucap Tejo enggan.

“Kamu itu suami macam apa sih Jo ? Gak ada dukung-dukungnya ke bini”, umpat Surti.

“Bukannya gitu lo Sur , janganlah kita itu membesar-besarkan masalah yang tak tentu benar, mereka kan cuma bisa gosip aja. Toh yang tahu aslinya kan kita”, pembelaan dari Tejo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline