Lihat ke Halaman Asli

Sumpah Pemuda di Tengah SARA

Diperbarui: 28 Oktober 2016   19:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Waktu itu kami bertiga. Seorang anak Minang, Seorang anak Bali dan seorang anak Batak. Kami semua lahir di Jakarta dan bersekolah di Sekolah Dasar yang sama. Waktu itu tahun 80-an yang astinya saluran tivi cuma 1, belom ada gadget kecuali Atari dan GameWatch dan tren dari Amerika Serikat serba telat.

Waktu kelas 4 SD, kami memiliki 3 kaset yang berbeda, yang satu punya Motley Crue, yang lain punya Twisted Sister dan Iron Maiden. Kami sangat menikmati tukar menukar lagu dan menyanyikannya seperti orang norak di kelas. Tapi itu 35 tahun yang lalu. Saat ini, yang satu tinggal di Jawa Barat, yang lainnya di Bali dan Jakarta.  Dan WhatsApp yang menyatukan kami.

Sekarang,  dengan rezim yang baru, globalisasi dunia, informasi yang meluas, bebas dan bisa ditulis oleh siapa saja dengan kepentingannya masing-masing, persahabat anak-anak atau orang dewasa dari suku yang berbeda dan agama yang berbeda menjadi tidak sepolos dulu. Seakan-akan kecurigaan dan ketimpangan informasi dan harta membuat masyarakat mudah tersulut amarah dan tindakan intoleransi.

Kuncinya ada pada kelompok mayoritas secara jumlah di masyarakat dan kelompok minoritas yang menguasai mayoritas kekayaan pada tiap provinsi yang perlu disadarkan. Teman saya yang orang Bali dan tinggal di Bali pusing dengan penghasilannya sebagai karyawan karena dengan peningkatan penghasilannya saat ini, tidak mungkin dia membeli tanah dan rumah di Bali. Peningkatan harga tanah dan rumah di Bali tidak dapat dijangkau oleh mayoritas orang Bali aseli. Kalau pun ada yang memiliki tanah warisan, mereka tergiur dengan tawaran menggiurkan dari para pendatang.

Orang Bali aseli yang mayoritas bisa terpinggirkan oleh yang minoritas tapi memiliki mayoritas kekayaan. Jika melihat legiun veteran yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang berjoeang bersimbah peluh dan darah untuk memerdekakan bangsanya cuma memiliki satu mimpi, anak dan keturunannya hidup lebih sejahtera. Namun apa yang terjadi, jika melihat daftar 40 orang terkaya di Indonesia, adakah  anak atau keturunan para pahlawan ini? Hmmm... mungkin kalau daftarnya 100 atau 1000 atau 10.000 orang terkaya di Indonesia baru ada anak atau keturunan para veteran ini.

Kaum mayoritas gigit jari di tengah minoritas yang menguasai ekonomi terus menerus bahkan setelah Indonesia 70an merdeka. Itu terjadi dari sabang sampai merauke. Jika kerusuhan meledak, maka mereka akan di cap sebagai perusak ketentraman dan dilarang berbicara SARA. Bukankah yang mayoritas juga ingin menjadi sejahtera seperti para pendatang? Pemimpin daerah seharusnya bisa menyeimbangkan keinginan pengusaha-pengusaha gurita ini untuk untung besar dengan kesejahteraan mayoritas di suatu daerah.

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.... Indonesia

Dan kami juga ingin masuk ke dalam daftar orang terkaya di Indonesia.

Sumpah Pemuda 2016




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline