Seorang penjual makanan masih termenung mengamati tulisan harga menu yang ia pajang di depan warung semenjak beberapa tahun yang lalu. Pelan-pelan ia eja sendiri tulisan itu.
Kopi hitam : Rp. 1500
Es teh : Rp 1500
Telur dadar : Rp 4000
Telur orak arik : Rp 5000
Ayam goreng : Rp 6000
Gado-gado : Rp 10.000
Ayam penyet : Rp 12.000
Bakso : Rp 6000
Harga bahan makanan yang semakin naik akhir-akhir ini membuat penjual makanan itu bingung. Ingin menaikkan harga takut para konsumen kabur. Jika tidak dinaikkan maka dia akan rugi. Bingung memilih tapi harus memilih. Akhirnya diambil jalan tengah. Harga harus naik tapi kemasan dirubah. Bukan kemasan makanan atau minumannya tapi kemasan tulisan harga menu. Besok paginya terpajang tulisan di depan warungnya sebagai berikut :
Black Tea : Rp. 3000
Ice Tea : Rp 3000
Omelette : Rp 10.000
Scrambelle Egg : Rp 11.000
Fried Chicken : Rp 12.000
Boiled vegetable with peanut sauces : Rp 25.000
Smashed Chicken : Rp 26.000
Meat ball : Rp 15.000
“Alhamdulillah, harga naik tapi pelanggan tidak kabur….” Begitu kata penjual makanan itu beberapa minggu kemudian.
Ide itu datang dari pengalaman pribadinya ketika dia 2 kali ditraktir temannya. Yang pertama ketika dia ditraktir nasi goreng dengan harga Rp 15.000 dan temannya mencak-mencak karena merasa harga itu kemahalan dan yang kedua ketika dia ditraktir “fried rice” oleh orang yang sama dengan harga 22.000 tapi dia merasa puas karena harganya murah.
[caption id="attachment_346532" align="alignnone" width="320" caption="Bakso alias meat ball"][/caption]
(Foto koleksi pribadi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H