Lihat ke Halaman Asli

Tupat Tominatasa

Administrator

Politik Asosiasi dan Radikalisme

Diperbarui: 3 November 2019   18:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Politik asosiasi" Ketika zaman imperialisme kuno adalah politik yang seakan  ingin menciptakan kesetaraan antar anak penjajah dengan generasi muda bangsa terjajah melalui pendekatan budaya. Politik asosiasi terlihat sangat mulia dengan adaya kata "kesetaraan"seakan- seakan bangsa yang terjajah akan terlepas dari pengekangan dan kebebasan dalam budaya. 

Padahal terdapat misi terselubung dari para imperialis yang ingin memasukkan budaya dan perilaku barat kedalam generasi muda bangsa terjajah dengan tujuan agar generasi muda kehilangan tradisi,budaya dan jati diri yang islamis religius yang nota bene pada saat itu ulama dan kaum santri merupakan ancaman terbesar bagi para imperialis. 

Pada akhirnya generasi muda bangsa terjajah akan kehilangan jati diri dan tidak memiliki rasa tanggung jawab sehingga para imperialis dapat meredam pemberontakan dan mempertahankan eksistensi kekuasaannya.

Saat ini dalam kancah perpolitikan nasional terlihat adanya "politik asosiasi", politik ini sebagian berargumen tentang adanya kerja sama yang harus besinergi antar dua kubu yang sebelumnya berkompetisi dalam perebutan kekuasaan. 

Di satu sisi kerjasama yang baik,sinergitas antar dua kubu besar seakan merupakan hal yang dapat mempercepat pertumbuhan dan kemajuan suatu bangsa. Namun disisi lain banyak yang mencurigai adanya kepentingan atau gaya imperialisme baru dengan pembagian kekuasaan diantara dua kubu besar. 

Jika benar terjadi adanya pembagian kekuasaan atau deal politik maka dapat dimungkinkan adanya kebijakan yang menguntungkan satu pihak yang telah ber "Asosiasi" dan menjadikan perlawanan semakin dilemahkan atau diminimalisir karena  terjadi deal politik pembagian kekuasaan. 

Saat ini berkembang isu perang terhadap radikalisme apalagi setelah menteri agama mengeluarkan pernyataan bahwa niqab tidak berkaitan dengan kualitas keimanan seseorang. 

Tentu ini akan menjadi perdebatan yang panjang karena dari sisi syariat memang telah terjadi perbedaan pandangan antar ulama sejak dulu. Namun mereka saling bertoleransi karena memang masalah ini adalah ranah ijtihadiyah. 

Saat ini sedang digulirkan rencana pelarangan pemakaian niqob dan celana cingkrang di dalam instasi pemerintah dengan alasan membendung gerakan radikalisme. Rencana  ini harusnya di respon oleh Anggota dewan pembuat undang-undang yang nota bene adalah anggota dewan terpilih. Namun sebagian  besar anggoota dewan terpilih merupakan kader dari partai yang telah "berpolitik Asosiasi". 

Kita patut menunggu dan melihat apakah di dalam rencana pelarangan niqab dan celana cingkrang menjadi perdebatan yang sengit antar anggota dewan terpilih atau hanya akan berlalu melewati telinga para anggota dewan terhormat dan hilang. Apakah akan ada dampak dari politik asosiasi pada isu radikalisme? Kita tunggu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline