NGADIRAN, Sekjen Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia (APPSI) hari ini pukul 19.30 diwawancara di Metro TV terkait dengan kebakaran pasar yang nampaknya menjadi fenomena umum di Indonesia apabila pasar-pasar tradisional tersebut telah berumur lebih dari 20 tahun. Pernyataan-pernyataan bapak Ngadiran tersebut sayang jika tidak dicatat sebab banyak hal berharga yang dapat diketahui dari aspirasi beliau.
Pasar tradisional identik dengan kekumuhan. Menurut Bapak Ngadiran, pasar-pasar tradisional di Indonesia umumnya tidak terawat, diamankan, dan dijaga kebersihannya dengan baik. Padahal, para pedagang telah membayar uang perawatan, pengamanan, dan kebersihan. Uang itu bisa ditarik setiap hari maupun setiap bulan. Akan tetapi, kenyataannya kewajiban-kewajiban tersebut tidak ditunaikan oleh pengelola pasar hingga pengelola pasar mendapatkan sponsor atau pasar terbakar habis.
Berbeda dengan para penyewa gerai di mall, kewajiban penyewa dibalas oleh pengelola dengan mengecat ulang mall setiap dua tahun, misalnya. Sementara, menurut Bapak Ngadiran, pengelola pasar umumnya tidak merawat pasar sampai kemudian pasar tersebut terbakar. Alhasil, pasar tradisional selalu tampak kumuh, becek, dan tidak sedap dipandang.
Praktek 'pembekingan' kerap terjadi di pasar-pasar tradisional. Menurut Bapak Ngadiran, sangat tidak mungkin pedagang pasar berani meluber ke halaman pasar atau kaki lima jika tida dibekingi oleh oknum-oknum tertentu yang 'melindungi' pedagang tersebut. Jadi, perilaku pedagang pasar yang terkesan sulit diatur sebetulnya 'disahkan' oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan. Penegakan peraturan yang lemah juga menjadi masalah dalam menjaga ketertiban.
Misalnya, para pedagang Blok G di Tanah Abang 'turun' ke jalan satu per satu. Jika sejak pedagang pertama tidak ditertibkan, jalan akan lama-lama dipenuhi kembali oleh para pedagang. Bapak Ngadiran menegaskan bukan tidak mungkin Blok G akan menjadi ramai jika para pedagang dan pengelola pasar bersedia untuk bekerjasama menarik pengunjung dan tetap menegakkan peraturan.
Studi-studi banding yang tiada guna. Bapak Ngadiran mengetahui dengan pasti bahwa para pemegang kebijakan sering melakukan studi banding pasar tradisional yang dikelola dengan baik, baik di dalam negeri seperti di BSD dan di luar negeri. Akan tetapi, entah mengapa hasil pembelajaran tersebut tidak pernah menjadi rekomendasi kebijakan sehingga studi banding tersebut tidak memberikan manfaat yang bisa dirasakan oleh para pedagang.
Kios pasar tidak laku asuransi. Bapak Ngadiran menegaskan bahwa kios pasar tidak akan laku diasuransikan. Tak ada perusahaan asuransi yang bersedia membuat produk asuransi kios pasar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kios pasar memiliki resiko bencana yang sangat tinggi. Di Indonesia, membakar pasar sering dijadikan jalan pintas bagi pengelola untuk 'mengusir' pedagang, membangun kembali fisik pasar, dan menjual lagi kios tersebut. Selain itu, nilai investasi riil kios pasar sulit untuk diperhitungkan sebab praktek percaloan sulit dihindarkan. Kios pasar berupa lapak meja yang sebetulnya sehaga Rp 10 juta bisa dijual ke pedagang hingga mencapai harga Rp 30 juta.
Bapak Ngadiran tidak bermaksud menyalahkan salah satu pihak dalam peristiwa kebakaran Pasar Senen. Apa yang beliau sampaikan adalah hal umum yang ditemukan di kebakaran-kebakaran pasar lain di Indonesia. Jikalau kebakaran pasar tersebut tidak lakukan disengaja, cepat atau lambat peristiwa kebakaran itu akan terjadi. Menurut beliau, tidak sampai 20 % pasar tradisional di Indonesia yang sejumlah 13.000 itu dikelola dengan baik. Dengan demikan, pasar tradisional di Indonesia umumnya cenderung ditelantarkan oleh pengelola.
Sayang sekali jika pasar-pasar tradisional kian terimpit di tengah pasar ritel modern yang makin ketat. Keengganan konsumen mengunjungi pasar tradisional lebih banyak dikarenakan oleh faktor kenyamanan dan kebersihan di dalam maupun di luar pasar. Gengsi memang bukan nilai jual pasar tradisional. Pasar tradisional tidak menjual 'citra' kelas menenangah ke atas sebab pasar tradisional memiliki keunggulan yang berbeda dari pasar ritel modern.
Jika kita ingin mengetahui karakter budaya suatu masarakat, kunjungilah pasar tradisionalnya. Di pasar tradisional, kita tidak sekadar membeli barang, melainkan berinteraksi dengan manusia-manusia. Di pasar ritel modern, seseorang dapat masuk dan keluar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun seperti robot. Melalui interaksi manusia dengan manusia lain di pasar itulah kita dapat melihat budaya masyarakat lokal.
Pasar tradisional lebih murah? Mungkin tidak untuk semua barang. Paling tidak, untuk bahan makanan segar pasar tradisional lebih murah daripada pasar ritel modern. Uang Rp 10 ribu dibelanjakan di pasar tradisional bisa menghasilkan tumis sayur dan lauk tempe serta telur untuk beberapa porsi sementara di pasar ritel modern uang sejumlah itu baru untuk beli tempe saja. Ibu-ibu adalah kelompok yang paling mengerti soal selisih harga ini. Selisih dua ratus rupiah pun bagi ibu-ibu Indonesia yang sensitif harga sangatlah 'ngefek'.