Lihat ke Halaman Asli

Utang Vs. Pajak

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara kita adalah negara yang kaya. Ya…, inilah yang sering diucapkan oleh banyak orang. Namun seberapa besar dampak kekayaan di negara kita itu terhadap kesejahteraan rakyat? Untuk menjawabnya marilah kita tengok ke wilayah Papua. Ribuan ton emas dihasilkan di wilayah itu setiap tahunnya. Namun sayangnya, rata-rata penduduk di wilayah itu masih miskin. Bahkan sarana infrastruktur pun belum sepenuhnya layak untuk dipakai. Jika kita lihat wilayah Pulau Kalimantan, ketersediaan sumber daya alam begitu besar, namun infrastuktur seperti jalan dan jembatan belum banyak dijumpai seperti di Jakarta. Demikian hal nya untuk Pulau Batam, dan beberapa daerah lainnya.

Memang tidak ada keterkaitan langsung antara ketersediaan sumber daya alam dengan kemakmuran penduduk suatu wilayah. Hal ini wajar karena yang mengelola sumber daya tersebut sebagian besar pihak asing. Pemerintah belum mampu mengelola nya sendiri. Keterbatasan keahlian sumber daya manusia menjadi salah satu faktor penghambat utama. Kita boleh saja berpendapat daripada kekayaan sumber daya alam yang melimpah ini tidak dimanfaatkan, lebih baik dimanfaatkan oleh pihak lain, daripada mubazir, dengan sistem bagi hasil. Namun sayang nya bagi hasil yang diterapkan tidak seperti harapan. Karena pihak pemerintah mendapatkan porsi kurang dari setengah nya.

Seandainya sumber daya alam di Indonesia yang melimpah itu dapat dikelola sendiri, mungkin negara kita tidak akan dalam kondisi banyak utang seperti sekarang ini. Defisit anggaran dapat ditutup dari penerimanaan hasil pengelolaan sumber daya alam. Mengapa bukan dari pajak? Jika penerimaan difokuskan pada sektor perpajakan, akan membahayakan posisi Indonesia di masa yang akan datang. Untuk tahun 2012 ini rasio pajak dipertahankan pada posisi 12.72%. Rasio Pajak merupakan angka perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto suatu negara selama satu tahun. Rasio itu berfungsi untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, serta dapat pula melihat potensi perpajakan yang belum mampu dijangkau oleh negara, padahal sebenarnya mempunyai potensi tinggi. Semakin tinggi nilai rasio pajak, semakin patuh pula wajib pajak melakukan kewajiban perpajakan apabila kinerja sistem pemungutannya baik. Namun rasio pajak yang tinggi pun tidak sepenuh nya baik, karena jika titik jenuhnya sudah tercapai, akan makin sulit untuk meningkatkan penerimaan di sektor perpajakan.

Jika defisit ditutup sepenuhnya dengan pajak, berarti pemerintah harus menaikan rasio pajak menjadi diatas 12.72%. Pengeluaran pemerintah yang setiap tahun selalu meningkat untuk memberikan tugas layanan umum, memaksa pemerintah harus menaikan rasio pajak setiap tahun. Namun hal ini bukan lah perkara mudah, karena banyak implikasi baik yang berdampak secara langsung maupun tak langsung terhadap perekonomian.



Postur APBN yang defisit memang sengaja diciptakan pemerintah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya sikap ‘konsumtif’ yang dilakukan pemerintah, diharapkan dapat merangsan kegiatan usaha sektor swasta. Keterlibatan sektor swasta ini akan menyerap banyak tenaga kerja yang secara tidak langsung dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Masyarakat yang mempunyai penghasilan akan membelanjakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian rantai kegiatan ekonomi ini akan terus berputar. Namun sebaliknya, jika pemerintah menerapkan anggaran berimbang, atau bahkan surplus, akan sedikit keterlibatan perusahaan swasta dalam perekonomian. Yang tentunya akan sedikit pula manfaat yang dapat dirasakan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. hal ini akan menyebabkan lesu nya kegiatan perekonomian.

Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah berupaya mempertahankan kebijakan anggaran defisit. Salah satu upaya untuk menutup defisit anggaran tersebut adalah meningkatkan sektor penerimaan, baik di bidang perpajakan maupun non pajak. Namun, keterbatasan sumber penerimaan ini memaksa pemerintah untuk melakukan kebijakan pembiayaan. Salah satu sumber pembiayaan yang paling banyak dilakukan sampai saat ini adalah melalui utang, baik dengan melalui pinjaman maupun dengan menerbitkan surat berharga negara. Untuk pembiayaan jangka panjang, pemerintah lebih menekankan sumber pembiayaan dari dalam negeri. Hal ini untuk mengurangi muatan politik yang berada di balik pemberian pinjaman tersebut oleh lender. Selain itu pembiyaan dalam negeri juga akan mengurangi resiko nilai tukar yang muncul sebagai akibat dari fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Pinjaman dalam negeri ini ini juga diupayakan untuk memperkuat laju peredaran uang di kalangan masyarakat dalam negeri. Daripada uang milik pengusaha hanya disimpan di bank, pemerintah berinisiatif menarik uang tersebut dengan menerbitkan surat utang. Dana yang ditarik pemerintah ini nanti nya akan digunakan untuk mebiayai defisit anggaran.



Kita sebagai warga negara, sangatlah kurang tepat jika memandang pengadaan utang yang dilakukan pemerintah itu hanya dari satu sisi saja. Apalagi jika sudut pandang kita hanya dari arah yang negatif, yaitu mempermasalahkan jumlah utang pemerintah yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hingga bulan Juli tahun lalu, jumlah utang pemerintah total nya mencapai Rp1.744,34 triliun. Peningkatan jumlah utang ini tidak semata-mata dikarenakan penambahan jumlah utang baru yang dilakukan pemerintah, namun sebagian diantaranya karena nilai tukar rupiah yang turun. Penurunan nilai tukar ini membuat seolah-olah nominal utang kita naik. Dikutip dari Detikcom pada hari Jumat, 16/12/2011 11:14 WIB, bahwa rasio utang kita saat ini  sekitar 25% dari PDB nya.

Utang pemerintah juga tidak perlu dikhawatirkan sepanjang itu dikelola dengan baik. Jepang sebagai negara maju pun juga memiliki utang yang jumlahnya hampir dua kali PDB nya. Tidak akan ada istilah negara ini akan bangkrut karena utang, sepanjang pemerintah dapat mengatur jadwal pembayaran utang yang telah jatuh tempo beserta bunga nya. Sebelum jatuh tempo, pemerintah harus mengupayakan sumber pendanaan untuk menutup nya. Jika dibiarkan sampai masa jatuh tempo nya, jumlah yang dibayarkan akan lebih besar. Pendanaan yang digunakan pemerintah ini dapat berasal dari sisa anggaran tahun lalu, maupun dari sumber penerimaan lainnya. Jika kedua sumber ini masih belum memungkinkan untuk membayar kembali utang yang telah jatuh tempio, alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan menerbitkan utang baru yang memiliki masa jatuh tempo lebih panjang. Kebijakan ini sampai saat ini masih efektif untuk dilakasanakan. Beberapa tahun terakhir, pemerintah menekankan sumber pembiayaan dengan penerbitan utang jangka panjang, di atas 5 tahun.

Dengan pengelolaan utang yang baik, tidak ada istilah setiap bayi yang baru lahir akan dibebani utang sebesar Rp7.000.000,00. Utang yang dilakukan pemerintah akan ditanggung sendiri oleh pemerintah, tidak akan melibatkan rakyat. Walaupun pada kenyataannya pengadaan utang tersebut ditujukan untuk kepentingan rakyat juga.



Layaknya sebuah korporasi, jarang sekali ada korporasi yang tidak mempunyai utang, seberapun besarnya korporasi tersebut. Semua ini ditujukan dalam rangka manajemen sumber penerimaan, ada kalanya pembiayaan harus dibiayai dari utang dan ada kalanya harus dibiayai dengan menerbitkan saham. Nah, disinilah hal yang membuat pemerintah harus berhutang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline