Lihat ke Halaman Asli

Sunrise dari Bumi Sikunir

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malam minggu kemaren (14/06), saya dan beberapa kawan baru saja menaklukkan bukut Sikunir Dieng. Kata menaklukkan saya pilih sebagai diksi bukan karena sulitnya medan seperti mahameru maupun gunung-gunung lainya, toh ia hanya bukit dengan jarak tempuh sekitar setengah jam saja. Ia menjadi fenomenal karena banyaknya pengunjung malam itu. Ratusan orang berbondong-bondong memadati bukit Sikunir sehingga ia terlihat seperti pasar malam, bukan wisata alam yang sepi dan dapat dinikmati keindahanya. Di beberapa puncak bukit berbondong-bondong orang memadati bukit tersebut menunggu matahari terbit atau lebih keren disebut sunrise.

Entah apa yang menarik banyak orang seperti ini, mungkin panorama indah khas dieng yang begitu menggiurkan. Katanya saat pagi menjelang kita akan disuguhi Sunrise di ufuk timur dengan gunung Sindoro di sebelahnya. Selain itu, ada danau Cebongan dan desa Sembungan yang nampak indah dilihat dari atas bukit Sikunir.

Selain itu, untuk sebuah pemandangan menakjubkan, wisatawan kiranya cukup dimanjakan dengan rute singkat yang tidak terlalu ekstrem. Setengah jam saja dan anda dipastikan sudah bisa sampai puncak. Tidak perlu repot-repot persiapan bekal ekstra seperti halnya naik gunung-gunung lain. Sikunir akan sangat cocok bagi pemula yang ingin mencoba merasakan sensasi pendakian gunung. Anggap saja semacam simulasi.

Perjalanan untuk dapat merasakan moment indah tersebut juga tidak terlalu melelahkan dan menyulitkan. Beberapa jalan menanjak dari tempat parkir dan kita sudah bisa sampai pada puncak dengan sambutan ramah matahari tebit Dieng. Menggiurkan bukan?

Puncak Sikunir berada di desa Sembungan, yang konon disebut desa tertinggi di pulau Jawa. Embel-embel ini nampak begitu menarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Bayangkan saja jika kita meng-upload foto di jejaring sosial lalu menuliskan “Sunrise Sikunir, puncak desa tertinggi di pulau jawa.” Hmm.. sepertinya label ini begitu hegemonik bagi wisatawan.

Akhir-akhir ini Sikunir tengah menjadi barometer wisata Dieng. Di tempat saya belajar, kota Yogyakarta, pembicaraan mahasiswa mengenai Sikunir hangat diperbincangkan. Seringkali mereka mengobrolkan tentangnya dan membuat yang lain iri, termasuk saya.

Keindahan alam Dieng memang tidak tertandingi. Keunikan alam juga culture masyarakat Dieng mengandaikan sebuah bentuk kehidupan ideal dan harmonis diantara alam dan manusia. Alam yang memanjakan masyarakat dieng dirawat dengan baik oleh mereka. Memang alam disediakan bagi manusia, namun mereka tidak lantas mengeksploitasinya habis-habisan menggunakan logika kapitalisme. Keindahanya masih terjaga. kerukunan dan kebersamaan juga dipertahankan meski banyaknya wisatawan yang datang. Kebersamaan yang menggambarkan potret ideal sosialisme demokrasi untuk menghindari individualisme yang sebagai efek kapitalisme.

Kembali ke tema utama, kali ini saya ingin menceritakan kronologi perjalanan kami kemarin. Bukit Sikunir indah saat sunrise, siang hari tidak ada apa-apa hehe. Maka wisatawan berangkat mendaki jelang subug sekitar jam tiga atau empat. Sebagian bermalam di desa Sembungan namun banyak juga yang baru sampai disana dini hari.

Begitu masuk gerbang desa akan ada petugas tiket wisata. Untuk pemandangan yang menakjubkan, tiket wisata di desa ini dibandrol dengan harga yang sangat murah, 5000 rupiah saja. Setelah itu, kita akan menyusuri jalan beberapa ratus meter sampai pada parkiran di samping danau cebongan. Tarif parkir 2000. Kami sampai di lokasi parkir pada jam setengah empat disambut ramainya wisatawan. Ratusan kendaraan terdiri dari mobil dan motor berjejeran memadati lokasi parkir yang sebenarnya terbilang luas.

Sejurus mengarahkan pandangan pada danau disamping lokasi parkir, nampak hamparan air bening memenuhi danau di tengah desa itu. Bentuknya oval memanjang dengan air yang tenang dan hamparan rumput yang mengelilinginya. Banyak pula wisatawan yang mendirikan tenda disampingnya. Bermalam di samping danau tenang dengan langit yang cerah. Hmm saya tergiur mencoba bermalam di samping danau lain kali. Nampak tenang dan menenangkan. Saya membayangkan dapat menghabiskan malam sambil meneguk secangkir kopi hangat, mendengarkan alunan simfoni, ditambah dengan orang-orang spesial menemani.

Beranjak dari lokasi parkir yang sesak dengan pengunjung, kendaraan dan penjual jajanan, kami mulai masuk medan perjalanan menuju puncak Sikunir. Karena hari itu raamai, kami harus mengantri untuk naik. Saya heran, puncak seperti ini mengapa harus antri seperti di bioskop. Panjang dengan ratusan orang berjejer rela kedinginan untuk sebuah pemandangan yang konon indah.

Jalanan maish berupa tanah lembab dengan beberapa bagian yang sudah di lapisi batu kricak. Kadang licin di beberapa titik. Pengunjung harus berhati-hati untuk sampai keatas. Setelah beberapa menit di awal perjalanan, pengunjung akan mulai memasuki hutan dengan pohon-pohon yang hijau juga rindang.

Hari itu saya mendapati beberapa wisatawan kelelahan dan berhenti menghirup nafas. Mungkin rute yang menanjak dengan udara dingin khas Dieng yang ditambah embel-embel desa tertinggi di pulau jawa agaknya hegemonik mempengaruhi kesadaran bahwa lokasi ini amat dingin. Atau jangan-jangan memang dingin. Saya tidak tahu, tapi satu hal yang pasti bahwa malam itu kami dengan semangat menyusuri rute tanpa duduk berhenti. Sambil menikmati atau merasakan dinginya Sikunir banyak celotehan tanpa makna kami ceritakan. Mungkin pengusir dingin atau cara menikmati keadaan kelompok beranggotakan lelaki saja, tanpa perempuan, berbeda dengan kelompok lain. Hikz.

Hingga akhirnya kami sampai disana sebelum matahari menampakkan dirinya. Cukup untuk beristirahat sambil menunggu dengan santai. Beruntung kali itu, kami sempat mencuri tempat duduk di barisan depan salah satu puncak bukit. Ada beberapa puncak bukit yang penuh manusia. Mungkin ratusan. Sehingga di sisi lain, malam itu tidak terasa tenang apalagi untuk melakukan refleksi di tengah alam. Namun sisi lain, kita terhindar dari bahaya binatang buas. Kalau ada.

Sekitar satu jam menunggu, pukul lima lebih, akhirnya matahari menampakkan siluetnya di ufuk timur. Kilatan cahaya berwarna merah di atas awan membuat ratusan mata terkagum denganya lalu mengabadikan dengan jepretan kamera. Kamipun begitu, puluhan foto dengan pose yang sebenarnya tak jauh berbeda satu sama lain turut mewarnai prosesi kami dalam menikmati matahari terbit di bukit Sikunir.

Yang lain juga begitu. Nampak antusias menyambut matahari yang sebenarnya juga selalu terbit di tiap harinya. Namun di atas bukit ini, matahari nampak terlihat berbeda. Di atas awan, matahari nampak lebih indah memperlihatkan cahayanya. Dan mungkin inilah yang menjadikan ratusan orang berbondong-bondong datang mengunjungi bukit Sikunir, rela menyusuri jalanan licin dengan suhu dingin di tengah malam, di bukit yang dikenal dengan nama Sikunir. Have a nice trip!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline