Lihat ke Halaman Asli

Golf

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Langit tampak cerah. Suasana kehidupan di alam raya karenanya juga begitu bersemangat. Angin bertiup-tiup kecil disertai kicauan burung yang terbang ke sana kemari hinggap di satu pohon ke pohon lainnya.

Itulah yang terlihat sekarang pada keadaan di sebuah padang golf yang menghampar dengan kehijauannya. Cahaya matahari tak segan-segan juga memberikan penerangan pada kehijauan di sana sehingga terlihat menjadi lebih berwarna. Di padang golf yang terlihat tidak ramai dan sepi itu tampak ada seseorang yang sedang mengayuh stik golfnya. Sasarannya adalah bola yang telah ditaruh ke tanah dengan bantuan dari tee yang ditancapkan. Ia kini hendak melakukan pukulan dari wilayah di padang golf yang disebut dengan teeingground.

Stik itu mencium bola dan menghempaskan bola hingga ke jarak sekitar 91 meter. Standar memang. Bola itu mendarat di rumput dekat dengan ceruk pasir atau bunker. Usai memukul bola terlihat ia menuju tempat tersebut dengan seorang kedi lelaki di belakangnya yang setia membawa peralatan golfnya. Si kedi itu berkata,

“Pak kalau tadi saya lihat pendaratan bolanya. Saya rasa itu tidak jauh dari lubang,”

Ternyata benar apa yang diadakan kedi itu. Bola itu mendarat kurang lebih satu meter dari lubang. Si kedi langsung mengambil bola dan menempatkan bola itu dalam jarak 10 langkah,

“Ayo, Pak,” kata si kedi kemudian, “Masukkan bolanya yang benar yah,”

Ia menuruti perkataan si kedi. Dengan tatapan tajam ia mengarah pada bola dan lubang yang terlihat segaris lurus. Ini harus masuk, gumamnya dalam hati. Dengan pelan ia goyangkan stik dan bola pun meluncur pelan dan kemudian…Masuk!

Tentu saja ia senang.

“Bagus, Pak,” kata si kedi, “Gimana Pak? Mau istirahat dulu?”

“Iya, saya haus nih,” katanya, “Di sini panas sekali,”

Si kedi itu kemudian mengeluarkan minuman mineral dari tasnya. Sekarang memang sudah jam 11. Padahal ia baru saja memainkan permainan ini namun karena cuaca yang begitu panas ia memutuskan untuk istirahat sebentar kembali ke mobil yang mengantarnya tadi bersama dengan kedinya. Di sana sudah ada seseorang yang menunggu,

“Bagaimana Pak Junaidi?” tanya orang itu, “Baru satu lubang lho Pak,”

Junaidi lantas menjawab,

“Panas Pak Ruslan cuacanya,” Ia lantas tertawa.

“Ayo sini Pak,” ajak Ruslan, “Kita ada baiknya kembali dulu ke pondok. Saya belum sarapan pagi. Bapak?”

“Sama saya juga belum,” jawab Junaidi, “Bolehlah kalau begitu,”

“O,iya Pak,” kata Ruslan sementara mobil yang mengangkut mereka mulai berjalan melintasi jalur di padang golf tersebut, “Pukulan Bapak bagus sekali,”

“Terima kasih, Pak,” kata Junaidi, “Tapi, pukulan Bapak juga dan lebih bagus dari saya malah,”

Mendengar itu Ruslan tak menanggapi.

Junaidi yang berada di sampingnya dan sesekali melihat Ruslan langsung melayangkan pikirannya.

Seminggu yang lalu ia tampak begitu stres dan benar-benar pusing. Stresnya ini bukan karena pekerjaannya. Ia adalah pengusaha sebuah perusahaan yang menghasilkan alat-alat pertanian dengan harga yang murah. Karena murah produksinya selalu diminati oleh para petani semua kelas baik dari atas, menengah, dan ke bawah. Bahkan untuk memudahkan para petani yang meminati produknya ia suka memberikan kredit khusus yang bisa dibayarkan pada akhir tahun. Namun, tidak semua peminat dapat hak istimewa tersebut. Hanya mereka saja yang telah berlangganan dan menjadi mitranya.

Usaha yang ia rintis selama 7 tahun terlihat berjalan begitu mulus. Tiba-tiba saja badai itu datang. Alat-alat produksinya yang murah mempunyai banyak kerusakan di lapangan. Para konsumennya pun merugi dan meminta ganti rugi karena dengan rusaknya itu otomatis jadwal mereka untuk menggarap lahan jadi terganggu dan hasil panen bisa meleset jadinya. Bahkan karena permasalahan itu ada yang membatalkan secara sepihak kemitraan.

Di pasaran alat-alat produksinya tidak lagi laku dan langsung dikembalikan ke pabrik. Semuanya menjadi menumpuk. Permasalahan di luar juga merembet ke dalam. Para karyawan menuntut gaji karena selama 3 bulan belum dibayar. Ia berusaha berbicara dengan para konsumen dan karyawan namun nihil. Ia kini merasa di ambang kebangkrutan. Satu-satunya alat yang bisa menebus semuanya adalah rumah-rumahnya yang terletak di Pondok Indah dan Tapos. Namun, ia ogah menjualnya terutama rumah yang berada di Tapos karena itu rumah itu bisa jadi modal untuk mengembangkan usaha tani di sana. Padahal, istrinya berulang kali menyuruhnya.

Ada yang mengatakan hal yang menimpa dirinya karena ada sabotase dari pesaingnya yang kurang suka dengan keberhasilan perusahaannya. Perusahaannya dianggap terlalu dekat dengan para petani dan menghalangi keinginan mereka untuk menjual. Namun untuk masalah sabotase sejauh ini belum ada bukti.

Akhirnya, Tono, seorang asistennya menyarankan agar ia berkongsi dengan Ruslan Hadiwijaya, seorang pengusaha terkenal di bidang jasa keamanan. Mendengar ucapan Tono, Junaidi terlihat heran,

“Apa hubungannya?” tanyanya.

“Pak,” kata Tono, “Saya tetap yakin apa yang terjadi karena ada sabotase dari pihak luar. Kalau kita bekerjasama dengan dia secara langsung kita akan mendapatkan pengamanan dari orang-orang suruhannya dia. Pengamanan itu tidak hanya sebatas pada produksi saja tetapi juga pada distribusi dan orang-orang bisa kita jadikan mata-mata di tempat yang menjual alat-alat kita. Ya mereka bisa dijadikan pegawai atau penjual. Jika ada kecurangan pada siang hari, maaf ya Pak, memang agak kejam, akan dibereskan pada malam harinya. Tetapi, toh ini demi kita juga,”

“Tetapi saya tidak kenal Beliau, Ton,” kata Junaidi.

“Tenang saja, Pak,” kata Tono, “Saya akan usahakan. Saya punya saudara yang bekerja di situ. O, iya Pak, Beliau itu suka sekali dengan produk-produk Bapak yang inovatif,”

“Terima kasih, Ton,” jawab Junaidi.

Beberapa hari kemudian, Tono menyampaikan laporannya kepada Junaidi. Ruslan setuju untuk berlobi mengenai kerjasama asalkan lobi itu dilakukan itu di padang golf.

“Jadi, saya harus bermain golf?” tanya Junaidi setelah mendengar apa yang diutarakan Tono.

“Begitulah, Pak,” jawab Tono, “Golf itu olahraga kesukaan Beliau,”

“Tapi, saya kan tidak bisa bermain golf,” kata Junaidi.

“Masa Bapak tidak bisa?” tanya Tono tidak percaya.

“Iya benar,” kata Junaidi, “Baru kali ini juga saya akan bermain golf,”

“Tenang aja, Pak,” kata Tono, “Nanti Bapak juga diajarkan di sana,”

Junaidi yang tidak bisa bermain golf itu memang diajarkan di padang golf tempat ia akan bertemu dengan Ruslan mengenai masalah kerjasama ini. Untuk dapat dinilai sebagai orang-orang yang benar niat ia datang terlebih dahulu sekalian berlatih dengan dibantu seorang kedi. Pelatihan itu cukup singkat karena ia cepat mengerti tentang cara bermain golf yang sejujurnya asing untuknya.

Ketika Ruslan datang bersama dengan anak buahnya, keduanya berjabat tangan, berbicara basa-basi dan bermain golf. Ketika makan siang, keduanya hanya berbicara mengenai apa yang hendak dilakukan untuk kerjasama. Usai makan siang, keduanya bermain golf kembali hingga sore menjelang dan itu sekitar pukul 4.

“Ayo, Pak,” kata Ruslan, “Kita sudahi dulu,”

Junaidi menurut. Ia tampak begitu menunggu mengenai kerjasama ini. Tak sekalipun itu meluncur dari mulut Ruslan.

Keduanya lalu duduk di mobil,

“Wah, tampaknya Bapak terlihat lelah sekali?” tanya Ruslan lagi.

“Betul, Pak,” kata Junaidi, “Memang melelahkan,”

“Ayo, Pak minum dahulu,” kata Ruslan sambil menyodorkan minuman mineral keJunaidi. Ia langsung mengambilnya sambil berucap terimakasih.

“Bagaimana, Pak?” tanyanya lagi.

“Ya, lumayan segar,” kata Junaidi yang tetap berharap ucapan kerjasama meluncur.

“Saya perhatikan dari tadi Bapak keliatan murung,” kata Ruslan kemudian, “Bapak sedang ada masalah?”

Mendengarnya Junaidi merasa itu adalah ladang kesempatan untuk ia berbicara mengenai perihal masalahnya,

“Iya, saya ada masalah,” jawab Junaidi, “Masalah itu…,”

Ruslan tiba-tiba memotongnya,

“Tenang Pak,” katanya, “Saya sudah tahu masalah Bapak seperti apa. Saya benar-benar prihatin,”

“Terima kasih, Pak,” jawab Junaidi yang merasa jawaban itu belum cukup.

“Memang dalam dunia usaha persaingan itu boleh ada tetapi apa yang mereka perlukan terhadap perusahaan Bapak sungguh-sungguh keterlaluan,”

Junaidi hanya berkata “iya,”

Ruslan lalu tertawa.

“Bapak tenang saja,” katanya sambil menepuk-nepuk bahu Junaidi, “Saya bersedia membantu Bapak untuk membereskan masalah itu,”

“Jadi, Bapak mau bekerjasama dengan perusahaan saya?” tanya Junaidi yang mulai berubah tatapan mata dan raut wajahnya.

“Oh, tentu saja, Pak,” kata Ruslan, “Sejauh menguntungkan,”

“Masalah itu saya jamin pasti menguntungkan,” kata Junaidi meyakinkan.

“Baiklah,” kata Ruslan. Ia lalu memanggil salah satu anak buahnya yang kekar dan berkacamata serta berbaju hitam membawa semacam map, “Tolong Bapak tandatangani di sini untuk bukti perjanjian kerjasama kita,”

Junaidi menuruti apa yang diperintahkan Ruslan. Ia bubuhkan pena di atas kertas putih yang berisikan sejumlah poin mengenai perjanjian kerjasama mereka berdua. Usai Junaidi membubuhkan tandatangan, gantian Ruslan.

“Dengan ini,” kata Ruslan, “Kita sudah sepakat untuk bekerjasama dan semua diatur di dalam kertas ini. Itu berarti mulai detik ini saya akan menempatkan anak-anak buah saya di pabrik, dan di tempat-tempat penjualan alat-alat Bapak,”

“Terima kasih, Pak” jawab Junaidi, “Atas kepercayaan Bapak mau bekerjasama dengan perusahaan saya,”

“Justru saya yang harus berterima kasih,” kata Ruslan, “Karena Bapak telah memberikan kepercayaan jasa keamanan kepada perusahaan saya. Ini bagi saya hal baru sebab selama ini saya selalu menyortir untuk para pejabat. Bagaimanapun rakyat kecil harus selalu dibela kan?”

“Betul sekali, Pak,” kata Junaidi, “Lalu Bapak minta apa dari saya?”

“Begini, Pak,” kata Ruslan, “Urusan itu belakangan. Kita lihat dulu bagaimana kinerja anak buah saya di lapangan. Kalau berhasil pasti nanti saya akan hubungi Bapak lagi,”

“Baiklah, Pak. Terima kasih.

Udara sore berhembus sejuk di padang golf. Langit terlihat sudah begitu muram dan hendak mengakhiri senja. Burung-burung kembali berkicau dengan kicauan sore. Namun, apa yang terjadi di sekeliling tidaklah berpengaruh terhadap Junaidi. Ia sekarang tampak begitu senang sebab perusahaannya kini akan bisa diselamatkan melalui kerja sama dengan seorang pengusaha jasa keamanan, Ruslan. Ia berucap terimakasih dalam hatinya kepada Yang Di Atas dan berharap semoga semua berjalan dengan yang diharapkan.

Junaidi yang hendak menaiki mobilnya kaget ketika ia tak menemukan mobilnya di parkiran. Ia merasa ada yang mencuri. Dalam hati ia bertanya, tadi senang sekarang kok jadi susah? Dalam keadaan seperti itu seseorang mendekatinya dan ia terkejut.

“Pak Junaidi?” tanyanya.

“Betul,” jawab Junaidi.

“Mari ikut saya,” kata orang tersebut. Junaidi tanpa banyak tanya mengikuti saja orang itu. Begitu terkejutnya ia ketika di depannya ada sebuah Mercedes-Benz klasik kelas A.

“Mari masuk, Pak,” kata orang tersebut membukakan pintu.

Junadi sekali lagi tanpa pikir panjang masuk ke dalam.Beberapa menit kemudian orang itu masuk,

“Perkenalkan saya Jarwo,” katanya, “Mulai hari ini saya akan menjadi supir Bapak dan mengawal Bapak,”

Junaidi mengerti maksud ucapan itu. Ia lalu memalingkan wajah ke jendela dan melihat dari dalam Ruslan yang sedang berdiri di depan pondok. Ia kemudian mengacungkan jempol kea rah Ruslan. Ruslan hanya mengiyakan sambil tersenyum.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline