Lihat ke Halaman Asli

Jangan Marah kalau Indonesia Banyak Koruptor

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membicarakan partai politik, caleg, bingkisan adalah sebuah hal yangmenarik saat –saat menjelang pemilu seperti ini. Pesta demokrasi akan kembali berlangsung . Rakyat pun bebas memilih partai dan caleg yang mana yang akan dipilih nantinya.Seperti pada umumnya, menjelang pesta demokrasi biasanya suara-sura panas kian terdengar baik di dunia maya ataupun dunia nyata. Banyak yang saling menjelek-jelekan antar 1 dengan yang lain. Tokoh ini seperti ini, tokoh itu sepertiitu. Namun yang pasti, satu yang hampir pasti dilakukan semua partai. Pencitraan dimana-mana.

Bahkan praktek money politik seperti biasanya tetap ada. Walaupun mungkin ada panitia pengawas pemilu yang memantau namun pencitraan yang berupa pembuatan spanduk dan bilboard terpasang diberbagai penjuru. Dari ujungdaerah A sampai masuk daerah Bbanyak sekali calegyang menempel posternya sebagai ajang sosialisasi.Padahal peraturan Pemilu sekarang berbeda dengan Pemilu lampau, dimana sebenarnya pemasangan bilboard tidak diperbolehkan, namun masih saja saya jumpaiposter-poster caleg yang tertempel hampir dipohon-pohon hingga poster yang berdiri dengan ukuran 2 kali ukuran orang dewasa.

Berkampanye memang sebuah upaya untuk memperkenalkan caleg kepada masyarakat. Banyak cara yang dilakukan. Bisa dengan pos kesehatan, senam sehat ataupun pemberian bantuan kepada korban bencana. Asalkan jangan sampai ada embel-embel untuk membeli suara rakyat. “ Kamu sayakasih beri uang sekian rupiah ya, nanti pilih caleg ini ya” Demikian kurang lebih gambarannya.

Namun ada pula yang lebih parah. Pemberian uang dalam bentuk amplop sebagai bukti pembelian suara rakyat seakan sesuatu yang wajar di masyarakat. Tak jarang antar warga masyarakat saling menanyakan kira-kira sudah diberi amlop berapa rupiah oleh pak/ bu A. Katakanlah uang yang diberikan ke warga 50 ribu (ini berdasarkan cerita yang saya dengar dari tetangga dan kawan-kawan). Bisa kita bayangkanberapa uang yang dikeluarkan untuk menang menjadi anggota dewan.Untuk1 desa biasanya ada 4 rt, 1 rt ada 100 KK. Katakanlah 1 KK 1 amplop:1 desa ada 400 amplop. 400 amplop x 50 ribu: 20 juta. Ini jumlah yang dikeluarkan untuk membeli suara 1 desa ( ini gambaran minimun saja, karena banyak desa yang jumlah penduduknya lebih dari itu). Mari kita bayangkan besarnya dana pembelian suara tersebut.baru membayangkan saja mungkin kita sudah geleng-geleng kepala. Mungkin ada yang ratusan bahkan sampai milyaran. Sungguh bukan jumlah uang yang sedikit bukan?

Inilah kenapa ketika ada caleg yang kemudian lolos menjadi anggota dewan banyak yang melakukan korupsi. Balik modal, demikian banyak yang mengibaratkan seperti itu.Sebuah hal yang bisa dibilang “logis”. Dalam hati para koruptor mereka biasanya berfikir “Dulu dana yang kukeluarkan sekian, jadi aku paling nggak bisa mengambil sekian agar modal yang dulu kukeluarkan juga balik”.

Nah ketika kemudian banyak rakyat yang menghujat para koruptor, membenci, pengen menghakimi, mari kita kembali instropeksi diri. Apakah dalam pemilu dulu kita pernah menikmati atau menerima “amplop-amplop” tersebut. Yang memang niatnya auntuk membeli suarasehingga suara yang masuk pun banyak. Kalau memang kita menerimanya, maka sesungguhnya kitalah yang turut andil dalam menciptkan koruptor-koruptor di Indonesia. Padadasarnya, seorang caleg bisa menjadi anggota dewan karena dia memiliki jumlah suara yang unggul. Dan suara unggul itu berdasarkan pilihan rakyatnya.

Namun ketika dari awal rakyat sudah menerima “amplop-amplop”tersebut dan hal itu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, maka jangan heran dengan kondisiIndonesia yang tidak pernah maju, korupsi semakin merajalela.Jumlah koruptor semakin bertambah. Karena sebenarnya rakyat indonesia sendirilah yang menciptakan koruptor-koruptor tersebut. Kenapa musti marah ketika ada koruptor yang mengkorupsi uang rakyat, padahal dulu kitalah yang menciptakan mereka menjadi koruptor. Rakyatlah yang memilih mereka karena iming-imping “amplop tersebut. Tanpa suara rakyat tidak mungkin seorang caleg menjadi anggota dewan. Dan dengan seseorang menerima “amplop” maka sebenarnya ia pun sudah belajar untuk menjadi koruptor kecil-kecilan. Bukanlah itu sama saja dengan menerima uang sogokan bukan?

Jadikalau memang kita ingin menjadikan indonesia maju tanpa koruptor, rakyat Indonesia pun hendaknya memilih partai ataupun anggota dewan yang bisa dipercaya.Sebuah kepercayaan harus diberikan oleh orang yang terpercaya. Orang-orang yang memang terjun ke partai politik untuk memperbaiki masyarakat.Jangan sampai kekesalan kita karena melihat Indonesia yang tidak maju-maju membuat beberapa orang memutuskan untuk golput. Ini bukan solusi, bahkan bisa dibilang ini sikap apatis. Kalah sebelum berperang. Bagaimana tidak, golput ataupun ikut menconteng saat pemilu , maka pesta demokrasi tetap berjalan dan caleg yang memiliki suara terbanyak yang akan menjadi anggota dewan. Dengan banyaknya yang golput justru peluang orang-orang yang memakai “amplop pelicin” justru semakinbesar. Karena orang yang golput biasanya orang yang benar-benar ingin melihat Indonesia maju, namun ia bingung atau apatis dengan keadaan Indonesia yang korupsinya merajalela. banyak yang kemudian memilih golput karena rasa apatis tersebut.

Padahalkalau kita mau membuka mata, tentunya masih ada caleg-caleg yang berjuang untuk Indonesia. Kita analogikan dalam kehidupan sehari-hari ini saja. Banyak yang bilang “jamannya jaman edan”, namun apakah kita kemudianmemukul rata kalau semua orang itu jelek. Tidak ada orang baik di Indonesia ini. Tentu tidak bukan? Nah demikian halnya dengan para caleg tentu masih ada caleg-caleg yang masih memperjuangkan rakyat. Caleg yang memang tidak memakai “amplop” untuk memuluskan jalannya. Orang-orang yang mengabdi untuk negara. Bekerja untuk mengkayakan Indonesia, bukan memperkaya diri sendiri. Kalau masing-masing kita ingin Indonesia bersih dari Koruptor. masih ada nggak ya yang menerima "amplop" menjelang pemilu nanti?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline