Lihat ke Halaman Asli

Urgensi Literasi untuk Perangi Berita Bohong

Diperbarui: 11 November 2017   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Guru dan siswa sedang membaca poster antihoax

Oleh: Fitri Nurhayati, S.Pd., Gr.


Indonesia masuk lima besar pengguna media sosial di dunia, tepatnya urutan keempat untuk pengguna facebook dan peringkat lima untuk pengguna twitter. Dalam hal ini patut berbangga, karena menandakan bahwa masyarakat tergolong melek teknologi. Namun peringkat ini sangat kontradiksi dengan budaya literasi masyarakat Indonesia. Dilansir dari satelitpost.com Indonesia dalam hal budaya literasi ada di peringikat lima dari bawah, setelah Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.

Budaya literasi erat kaitannya dengan penyebaran informasi sesuai dengan fakta. Hal ini akan dapat meminimalisir penyebaran informasi yang 'ngarang' atau mengada-ada. Kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis sangat dibutuhkan.

Membaca disini tidak hanya diartikan duduk manis, membuka buku, dan mempelajarinya. Namun, membaca telah mengalami perluasan makna. Memahami kondisi lingkungan sekitar pun dapat dikatakan sebagai membaca. Begitu juga dengan menulis, tidak hanya menggunakan buku dan pulpen saja, namun ketika seseorang memegang ponsel, mengirim pesan pun dikatakan sedang menulis. Maka, luasnya makna menulis dan membaca harus diiringi dengan luasnya pengetahuan akan sesuatu yang ditulis dan dibaca.

Kedua aktivitas menulis dan membaca juga melekat pada budaya literasi yang saat ini sedang digencarkan dalam dunia pendidikan, terutama dalam kurikulum 2013. Budaya literasi dikatakan sangat urgent bagi seluruh lapisan masyarakat, tidak hanya kaum terpelajar saja. Terlebih dengan maraknya informasi bohong (hoax) terutama di media sosial.

Memahami lebih mendalam tentang literasi, tidak hanya melek huruf saja namun juga harus melek visual, artinya kita harus mampu untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual bisa berupa video/gambar. Sehingga kita tidak mudah tergiur untuk ikut-ikutan menyebarkan informasi hoax.

Kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media dikatakan sebagai literasi media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar para konsumen media menjadi sadar (melek) tentang cara media dibuat dan diakses.

Sebagai guru, sudah selayaknya menyebarkan virus membaca, menulis, dan memahami di kalangan peserta didiknya. Apalagi saat ini dibenturkan dengan penyebaran informasi yang sangat mudah, cepat, dan transparan. Ada ungkapan bahwa kecepatan cahaya seolah kalah dengan cepatnya tangan kita menyebarkan informasi melalui media sosial.

Perkembangan IPTEK yang demikian cepat memaksa guru untuk beradaptasi dengan kondisi terkini. Purnomo (2008) menyatakan bahwa mendayagunakan teknologi komunikasi dan informasi di sekolah adalah satu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Informasi instan yang kini beredar sangat cepat memaksa masyarakat untuk selalu mengupdate berita supaya dapat dibedakan informasi yang sesuai fakta dan hoax. Namun dengan tersebarnya informasi bohong atau yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentu akan menjadi kendala. Bahayanya bisa membentuk opini masyarakat dan akhirnya mendiskreditkan salah satu pihak.

Kaum terpelajar jangan mau menjadi korban peruntungan bagi mereka yang paham akan teknologi. Karena semakin banyak berita bohong yang tersebar, semakin banyak yang mempercayainya, maka semakin banyak pula korbannya. Belum lagi akibat yang akan dialami bagi penikmat berita 'angin'. Pengguna teknologi yang tidak pandai memilah-milah informasi bisa menjadi korban penyebaran virus/mailware, kejahatan dunia maya, pencurian, dan kriminalitas lainnya.

Hal yang harus dibenarkan apabila saat ini dikatakan sebagai era media sosial maha dahsyat. Generasi muda kita adalah penikmat media sosial paling aktif di antara negara-negara lain di Asia. Dilansir dari kompas, CSIS, 2017 mencatat sebanyak 87,4 persen adalah pengguna aktif media sosial. Tidak ada yang salah apabila media sosial yang kita gunakan memberi kebermanfaatan, terlebih apabila membawa banyak keuntungan. Namun ternyata di sisi lain pun dampak negatif mengikuti di belakangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline