Lihat ke Halaman Asli

Kunikmati Pedih ini

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku ingin terjatuh lalu menangis sepuasnya, bukan karena sakit, tapi aku ingin punya alasan untuk menangis tanpa orang lain tahu apa yang aku rasakan sebenarnya.

Hidup dalam kepura-puraan bukanlah hal yang mudah, bukan hal yang menyenangkan, dimana aku harus selalu menyembunyikan pedih yang merasuki setiap hela nafasku dihadapan semua orang yang aku sayangi, demi melihat mereka tetap bahagia tanpa merasa terbebani oleh tangisan atau keluhan-keluahanku yang pastinya akan sangat mengganggu mereka. Aku hanya ingin mencoba bersikap dewasa, itu saja.

Bersikap dewasa? Aku masih sering menangis meraung-raung saat  aku benar-benar merasa lelah dan tak sanggup lagi atas semua ini. Aku masih sering memaki Tuhan atas ketidakadilan yang aku rasakan. Mengapa dia begini dan aku tidak? Mengapa mereka begitu dan aku tidak? Mengapa dan mengapa yang selalu aku inginkan tak pernah aku dapatkan?

Aku merasa aneh, merasa bodoh, bahkan sering merasa malu sendiri saat aku rela menahan kantuk berjam-jam sambil terus menatap layar ponselku, berharap dia menelpon atau sekedar mengirim pesan singkat yang selalu aku tunggu setiap hari, setiap menit, setiap detik, dan rasa kantukku seketika menghilang saat getaran ponselku membuyarkan semua lamunanku dan begitu terperanjatnya aku saat mendapati namanya menghiasi layar ponsel yang sedari tadi aku genggam itu, hanya pesan singkat, tak begitu penting, namun aku sangat antusias membalasnya, berharap akan menjadi percakapan panjang penuh keceriaan, namun wajahku kembali lesu dan mengantuk ketika 5 menit.. 10 menit.. 30 menit dan 1 jam kemudian tak ada lagi balasan darinya.

Entah apa yang membuatku tak pernah bosan melakukannya, melakukan hal yang sama, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bahkan disetiap pengaduanku kepada Tuhan, tak pernah sekalipun namanya absen ku sebut dalam setiap daftar doa-doaku padaNya, berharap semua pesan yang kutitipkan pada Tuhan sampai pada hatinya.

Dulu.. aku selalu menganggap setiap sikap manis yang dilakukannya merupakan lampu hijau sebagai balasan atas rasa yang berkecambuk didada ini sekian lamanya, bahwa setiap senyum itu adalah balasan atas cinta ini yang tak pernah berhenti tertuang untuknya, tapi aku salah.. salah besar, ia memang pria yang baik hati, melakukan semua hal yang manis itu kepada semua orang yang dikenalnya, hah.. memang aku saja yang terlalu keGe-er-an.. menganggap semuanya indah padahal hanya menghadirkan luka dikemudian harinya.

Berkali-kali aku selalu mencoba untuk menanamkan rasa benci padanya, sebagai penawar cinta yang sudah terlanjur menjalar keseluruh hatiku, berkali-kali aku selalu mencoba mengacuhkannya, namun selalu gagal, sapaan hangatnya selalu mampu meluluhkan amarah dan egoku, hingga semua usaha yang sudah aku persiapkan secara matang gugur begitu saja,berkali-kali juga aku mencoba menjauhinya, mencoba tak menemuinya barang 1 hari saja, namun tak pernah berhasil juga, ia selalu saja muncul dihadapanku, menyeretku kembali kedalam jurang rasa yang tak mampu lagi aku ungkapkan apa artinya. entah apa yang salah.

Sungguh.. aku tak pernah benar-benar berani menatap matanya, mata yang selalu menghujam jantungku hingga seakan-akan berhentii berdetak. Ya.. aku memang sedang jatuh cinta.. jatuh cinta pada seseorang yang amat sangat aku kagumi selama 2 tahun belakangan ini, dia tak begitu cerdas, tak begitu humoris, tak begitu tampan, namun semua yang ada pada dirinya kurasa cukup untuk selalu membuatku tersenyum saat berada didekatnya. Dia adalah orang yang selalu melukiskan senyum diwajahku, mencerahkan hidupku, namun dia juga sekaligus orang yang mampu menorehkan luka dihatiku dalam waktu yang bersamaan.

“ Kamu masih menunggunya?. “ “Masih..” Sinta menatapku lekat, mungkin ia heran, masih ada manusia yang hatinya keras melebihi batu. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, Sinta lah yang menemaniku dalam penantian ini, dalam segala harap yang menggerogoti kesabaranku sedikit demi sedikit. Tak pernah sedikitpun kata lelah yang Sinta dengar dari bibirku, padahal hanya sepatah kata itu yang selalu ia tunggu, paling tidak untuk menyadarkanku atas kesia-siaan yang aku buat sendiri, namun Sinta selalu gagal, segala kekhawatiran dan kepeduliannya padaku benar-benar habis termakan egoku yang selalu mengaku baik-baik saja.

“ boleh aku memberimu saran? “

“ Boleh.. asal bukan saran untuk menyatakan cinta padanya. “ Sinta mendengus kesal

“ kalau begitu lupakan dia! “

“ kalau aku bisa, sudah kulakukan sejak 2 tahun yang lalu. “ tatapan iba itu kembali muncul dari mata indah Sinta yang mulai berkaca-kaca, entah bagaimana, ia selalu melakukan itu, mengasihaniku, menangis untukku.

_

“ aku mencintainya.. “ mata itu berbinar-binar, terlihat sekali bahwa panah asmara tepat menembus hatinya. Sorot matanya tak pernah lepas dari seorang gadis manis yang tengah merapikan rambut indahnya. Seketika itu juga aku merasakan ribuan ton batu menghujam jantungku, membuatku ingin berhenti bernafas. Sakit.

“ kejar dia “ suaraku hampir tak terdengar, yah.. menahan limpahan air mata yang tak akan pernah aku tumpahkan dihadapannya amatlah sulit, menggantinya dengan senyum yang selalu aku paksakan membuat semuanya terlihat sempurna.

“ pasti “ katanya yakin. Senyumnya terus mengembang, sorot matanya menerawang jauh, entah kemana, mungkin tengah membayangkan sosok pujaan hatinya itu. Tak henti-hentinya ia mengoceh menceritakan semua hal indah yang ia rasakan sejak kehadiran “ bidadari “ nya itu, menggambarkan sosok yang selalu ia nanti selama ini, dihadapanku, iya.. aku yang mencintainya.

Sore itu langit terasa amat sangat tak bersahabat, mungkin ia mengerti atas mendung yang juga bergelayut dalam hatiku, bersiap-siap menumpahkan semua sakit yang sedari tertahan dan aku menangis dibawah guyuran hujan yang terasa memilukan. Aku selalu menikmati setiap tetesan hujan bersamanya, menanti pelangi yang akan muncul setelahnya. Aku selalu menyukai hujan saat bersamanya, dengan sengaja membiarkan derasnya mengguyur tawa canda kita. Tapi tidak untuk hari ini dan mungkin seterusnya, hujan terasa begitu menyakitkan saat aku merasakan petir dahsyat menyambar relung hatiku yang terdalam, menjadikannya rapuh, lebih rapuh dari sebelumnya, dan aku masih menangis dibawah hujan, mengutuk Tuhan yang menciptakan keindahan sekaligus kepedihan dibawah tetesan hujan.

Disini.. di tempat ini, dimana gemerlap bintang menemani setiap pilu yang kurasakan, setiap tetes air mata yang kutumpahkan, setiap sakit yang selalu aku rasakan, melukiskan setiap keindahan yang selalu aku rasakan saat mengingatnya, mengingat tingkahnya, mengingat senyumnya, mengingat tawanya, dan mengingat bagaimana sakitnya merindukannya, menyayanginya, mencintainya sedalam ini.

_

Aku tersadar dari lamunan panjangku saat kurasakan sentuhan lembut Sinta dibahuku. Ternyata sedari tadi ia memperhatikanku yang tak hentinya

“ Dia lagi ngerayain 2 tahun anniv nya sama Dian “ tanpa sepatah katapun, Sinta memelukku erat.. erat sekali hingga aku terhanyut dalam tangis yang memilukan, menyakitkan, dan aku yakin Sinta merasakan apa yang aku rasakan, karena kudengar isaknya meluap sembari ia terus membelai rambutku, mencoba menenangkanku dengan pelukan hangatnya. Mungkin Sinta lah satu-satunya orang yang mengerti, tahu, paham dan mungkin bosan dengan keseharianku yang tak pernah jauh dari hal melamun, mengkhayal, menangis dan menunggu, bahkan aku tak pernah ingat sudah berapa kali ia menemaniku menangis seperti ini, mungkin ratusan.. entahlah karena aku pun tak pernah ingat berapa kali aku melukai hati ku sendiri dengan penantian ini.

Langkah kaki Seno semakin dekat, sampai aku tersadar seseorang menepuk pundakku halus “ Thank’s ya Ras.. berkat kamu.. Aku sama Dian bias se-awet ini. “ Senyuman itu bagaikan angin yang menyejukkan jiwa, dan menularkan senyum yang sama di bibirku ini. Aku menatapnya lekat, dan tak ada hal yang paling menyakitkan selain saat aku menatap orang yang aku cintai, namun aku hanya bisa menemukan bayangan orang lain disana.

“ Aku seneng kok, kalau kalian seneng. ” Munafik! Pekikku dalam hati, menyayat hatiku sendiri dengan kata-kata sok bijak yang secara tolol aku lontarkan dihadapannya, menahan desakan air mata yang sedari tadi ngotot meminta turun.

Semua terasa indah saat aku selalu terbuai dalam ribuan khayalku tentangmu, tentang kita, tentang cinta.

Aku selalu diam-diam menatapmu ketika kita bertemu

Meski kadang kamu tak pernah sadar akan keberadaanku

Aku selalu diam-diam menyebut namamu dalam perbincangan panjangku dengan Tuhan

Meski tak sekalipun kau menyebutkan namaku dihadapanNya

Aku selalu diam-diam memperhatikan senyummu

Meski kaddang kau tak pernah sadar aku selalu mempersiapkan senyum termanisku saat ada di dekatmu

Aku selalu diam-diam mengharapkanmu

Meski tak pernah sekalipun kau menginginkanku

Aku selalu diam-diam menahan bendungan air mata

Karna hanya dia..

yang mampu membuatmu menatapnya saat kalian bertemu

Menyebut namanya dalam rangkaian doamu

Dan selalu mengharapkannya dalam setiap hela nafasmu

Aku hanya ingin kamu tahu..

Aku mencintaimu..

Walalu aku tau..

Bukan aku tempat hatimu akan berlabuh.

Sekali lagi Seno menoleh ke arahku sembari menghampiri Dian yang juga melambaikan tangan ke arahku, mereka hilang di keramaian kota malam itu, meninggalkanku sendiri dengan segala hal yang terus berkecambuk didalam hati ini.

“ Mungkin kamu tak akan pernah tau kalau ada aku disini, yang selalu menahan sakit yang sama, karena senyum yang sama, dan karena orang yang sama, dalam penantian yang entah akan berujung dimana, tapi hanya satu hal yang tak pernah berhenti aku yakini, aku teramat yakin bahwa penantian aku ini tak akan berakhir sia-sia.” Dan air mata itu kembali menetes.

“ Tak pernah aku menyangka, sejauh ini aku melangkah, tak pernah aku menyangka sedalam ini aku terluka “

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline