Lihat ke Halaman Asli

Nikah dan Gengsi

Diperbarui: 21 Oktober 2015   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pertemuan dengan seorang Professor yang berkewarganegaraan Thai ras Chinese, namun fasih berbahasa Inggris dengan aksen yang hampir sempurna,  menuntun saya pada pola pikir yang lebih dapat dibenarkan oleh nurani. Seperti yang sebelumnya saya pelajari, jangan mudah percaya pada ucapan siapapun. Hanya dua hal yang akan membenarkan, nuranimu sendiri dan fakta yang sudah terbukti. Ketika siapapun berbicara, bukan hanya saya cerna kata-kata dan bahasa yang disampaikannya. Namun di dimensi yang lain, saya tanyakan pada nurani saya sendiri. Jika nurani saya membenarkan, maka ucapannya bisa diterima oleh akal saya. Untuk cara yang lebih membutuhkan waktu yang lama, tanyakan pada sumbernya atau cari di referensi yang sudah terbukti. Scanning di buku atau digoogle. Kedua cara itu bisa digunakan berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan.

Beliau adalah salah satu akademisi terpandang,terutama di bidang research. Karena tidak ingin kehilangan kesempatan, maka saya merekam obrolan kami di handphone. Lalu saya dengarkan lagi sembari mengerjakan tugas di malam harinya. Saya mungkin akan bercerita perkara utama di tulisan yang lain. Namun hal menarik yang berkaitan dengan topik popular saat ini adalah perkara pernikahan. Bukan karena saya dilanda kegalauan atau kebelet menikah, tapi karena banyak teman-teman yang memposting di media sosial tentang cerita pernikahan dan pertemuan jodoh, dan sebagainya.Beliau pernah meneliti kenapa sebagian besar pasangan di Thailand bercerai setelah menikah. Banyak faktor yang melatarbelakangi, namun hal yang paling krusial adalah cinta dan tujuan. Ketika pasangan lupa bagaimana mencintai dan mengabaikan kegunaan kekuatan cinta itu, juga lupa tujuan kehidupan mereka bersama. Maka hal lainnnya pun begitu rapuh untuk membantu menguatkan kebersamaan.

Hal lainnya itu adalah embel-embel dunia. Saya ingin membicarakan hubungan pernikahan dengan “Pride and Prestigious”, istilahnya memang persis seperti judul film, tapi memang kata ini yang lebih tepat untuk menggambarkannya , atau bisa diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi “Kebanggaan dan gengsi”. Bisa jadi kamu kaitkan dengan hartabenda, kekuasaan, uang, gelar, paras rupa, dan hal lainnya yang membuatmu bangga diatas manusia yang lain dikarenakan embel-embel itu.

Salah satu yang pernah saya bahas adalah perkara undangan pernikahan (topik ini saya pernah posting kan di facebook). Perbincangan ini menjadi ramai ketika seorang Jokowi,pak Presiden Republik Indonesia, yang notabene orang nomor satu di negeri ini menikahkan putra sulungnya. Memang banyak hal yang menghebongkan dan diperbincangkan public. Salah satu yang paling menggelitik adalah undangan pernikahan tanpa cantuman gelar akademik. Hal itu tidak lumrah karena agak berbeda dengan kebiasaan orang Indonesia kebanyakan. Saya bukannya menjelek-jelek kan negara saya, namun semakin jauh sama mulai berpikir lebih rasional. Untuk lebih menguatkan fakta, saya tanyakan pada teman-teman dari berbagai negara, memang hanya orang Indonesia yang mencantumkan gelar akademis di undangan pernikahan.  Dulunya karena hal biasa mencantumkan gelar di undangan pernikahan, saya sempat berpikir ingin mencari suami seorang tamatan S2 atau S3(kalo bisa gelarnya yang berbau international, misalnya M.A,MBA,P.hD,esetra), lalu memberikan undangan pada mantan pacar agar dia tau bahwa saya menikah dengans seorang yang jauh lebih baik dari dia. Ohh, It was so stupid thought. Jokowi saja yang presiden sekaligus pengusaha kaya, dan anaknya yang lulusan luar negeri, tidak merasa perlu memamerkan gelar di undangan pernikahan yang tersebar ke seluruh Indonesia(harusnya seluruh gubernur diundang kan ya). Dia bisa saja menuliskan Ir.Joko Widowo, Presiden Republik Indonesia, dan anaknya dengan rentetan gelar keren yang tercap dari lulusan universitas ternama di Singapura dan Australia. Kenyataannya, dia merasa tidak perlu mencantumkannya. Bukan karena dia katro atau terbelakang, tapi karena itulah memang yang bercitarasa Internasional. Pernikahan bukan lah perkara apa gelarmu, apa gelar orangtuamu, atau gelar rasmu. Juga, lebih lucunya di undangan pernikahan orang Indonesia, semua gelar dicantumkan menghiasi nama, misalnya Dr. Siapapun,S.H, M,H.  Mau mengajakan anak TK  mengeja huruf? Semua orang juga tahu jika anda sudah “Dr” lulusan S3, pasti lah sudah melewati S1 dan S2. Saya jadi bertanya-tanya siapakah yang memulai budaya konyol seperti ini. Ketika hebohnya cerita pak Jokowi dan undangan pernikahan, mulailah banyak tulisan yang mengkritik keadaan serupa dengan berbagai variasi pandangan. Saya harap itu bisa membuka pola pikir orang Indonesia yang tergila-gila pada gelar dan  jabatan.   

Pesta pernikahan yang heboh dan mewah seolah menjadi kebutuhan di pernikahan. Mark Zuckerberg, penemu facebook dan pernah tercatat sebagai salah satu dari 35 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes, hanya mengadakan resepsi pernikahan di halaman rumahnya dengan undangan tidak lebih dari 100 orang. Jika dipikir-pikir, dia bisa saja mengadakan pernikahan mewah yang mengundang ribuan orang. Tapi barangkali dia berorientasi pada tujuan yang lebih penting, maka uang berjuta dollar yang bisa mendanai resepsi pernikahan, lebih dipilih di donasikan untuk pendidikan anak-anak di Afrika. Sementara kita, yang penghasilan pas-pasan, rela berhutang untuk mentraktir ribuan orang di pesta pernikahan, yang katanya untuk sekali seumur hidup. Namun kenyataannya sama tidak dapat menjamin kehidupan rumah tangga yang bahagia. Kecuali menjamin saudara-saudara letih bekerja dan menembus hutang setelahnya.

Termasuk juga dalam mencari jodoh. Coba kita perhatikan, kebanyakan orang tua kita menginginkan anaknya menikah dengan pegawai pemerintah, terutama Polisi. Saya tidak bilang polisi adalah profesi yang tidak baik, tapi kenapa harus polisi? Kenapa harus PNS? Dan kenapa harus orang-orang berseragam? Sangat sering saya dengar dari teman-teman tentang orangtua mereka yang menolak lamaran seorang pria untuknya karena pria itu buka pegawai berseragam dan bukan bergelar S2. Apa gelar dan pekerjaan bisa menjamin dia bisa menjadi suami yang baik. Namun bagaimanapun, setiap orang punya pilihan masing-masing.

Perkara ini menjadi populer diberbagai kalangan. Di mata masyarakat pada umumnya, suami istri yang gelarnya sama dan punya pekerjaan yang setara itu baru serasi. Atau ada juga wacana di kalangan akademisi, yang keren itu adalah mendapat suami/istri yang tamatan luar negeri. Seorang teman saya bercerita di media sosial betapa beruntungnya seorang rekan yang mendapatkan pria lulusan s3 di Amerika. Apa benar pasangan dengan gelar lulusan Amerika bisa menjamin pernikahan yang berbahagia? Kan lucu. Ketika memperhatikan keraknya hidup orang lain, seakan lupa ada hal yang lebih kuat mengikat mereka sebagai pasangan, yaitu cinta dan tujuan

Jika anda mendapatkan pasangan yang punya tujuan dan cinta, beruntunglah. Saya berani bilang bahwa jabatan dan gelar hanyalah bonus. Namun tidak sepatutnya menjadi tolak ukur untuk tujuan yang lebih penting. Seperti kata Rasulullah, Pilihlah dengan agama dan akhlaknya yang menjadi pertimbangan utama. Jika kata orang-orang tua kita, makan tu cinta, kalo tanpa duit buat apa. Tapi kita bisa mengubahnya menjadi, makan tu duit,jabatan,gelar, kalo tanpa cinta buat apa. Jadi sayang sekali jika memilih pasangan hidup masih hanya berdasarkan gelar dan isi kantongnya. Cinta bisa jadi perkara yang sangat patut dipertimbangkan. Bagi yang sudah pernah merasa mencintai dan dicintai seseorang dengan tulus sebegitunya, akan mengerti maksud saya.dan perkara agama yang juga tetap terpenting, karena hidup harus memiliki tujuan. Jika hanya dunia yang jadi tujuan, sungguh sayang sekali karena dunia hanya tempat tinggal sementara. Cinta bisa saja hampir runtuh seiring waktu dimakan zaman, namun tujuan yang membangunnya kembali. Pilihkan yang menuntunmu kearah tujuan masa depan lebih baik. By the way, Masalah ingin mencantumkan gelar di undangan pernikahan, itu pilihan kamu, asalkan kamu memastikan itu ada tujuannya.  –Ms.Rosanda-




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline