Lihat ke Halaman Asli

Demam India (Cerpen Anak)

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menggoyang-goyangkan pinggulku ke kanan danke kiri manghadap kaca lemari. Di depanku persis terlihat sosok anak perempuan berusia sembilan tahun menggunakan kaos putih ketat berlengan pendekdengankain panjang yg dililitkan sebagai rok bawahan dan sisanya diselampirkan ke atas pundak sebelah kiri. Kedua pergelangan tanganya dipenuhi dengan karet gelang berwarna-warni. Dan wajahnya penuh dengan warna-warni blush on dan eye shadow. Sosok itu menari-nari tak keruan, kadang meloncat-loncat lalu berputar-putar merentangkan kedua tangan. Setelah itu kembali menggoyang-goyangkan pinggul sambil mengerdip-ngerdipkan kedua kelopak matanya seperti orang yang sedang kelilipan, dan begitu seterusnya berulang-ulang.

Aku senang memandangi diriku sendiri sambil tersenyum-senyum. Entah mengapa aku begitu senang. Aku benar-benar sedang demam India. Sudah tak terhitung berapa banyak kaset film Bollywood yang sudah aku tonton. Lagu-lagunya aku hafal di luar kepala. Setiap pulang sekolah aku selalu tidak sabar untuk segera pulang ke rumah, ada acara “Dendang Bollywood” kesukaanku yag setiap hari diudarakandi radio. Walaupun aku berusaha berjalan secepat mungkin, tapi aku selalu telat sampai rumah. “Dendang Bollywood” sudah berlangsung lebih dari sepuluh menit. Setidaknya ada dua lagu yang telah aku lewatkan. Benar-benar merasa rugi besar buatku. Kadang aku ingin tidak masuk sekolah saja agarbisa nenikmati semua acara India yang diudarakan di radio bututku itu dari awal sampai akhir tanpa melewatkan satu detikpun. Tapi mana mungkin!Bapak Ibuku bisa marah besar kalau aku rela mengorbankan sekolahku hanya demi menyimak acara yang sangat aneh menurut mereka. Ketika aku masih terus menari-nari mengikuti irama lagu dari negara dimana sungai gangga berada itu, tiba-tiba aku mendengar pintu kamarku digedor-gedor. Ku kecilkan suara radio dan…

“Khilya! Buka pintunya! Buka pintunya!”

Ah, itu suara Kak Ida, dia sangat menyebalkan. Selalu saja menganggu kesenanganku. Malas aku meladeninya. Kuputar lagi tombol suara ke arah full. Musik India menghentak-hentak begitu merdu. Badanku kuliuk-liukkan bak ratu ular. Aku menirunya dari salah satu adegan film yang belum lama aku tonton. Kata orang-orang dewasa film itu menceritakan tentang drama percintaan, tapi jujur aku sendiri lebih tertarik dengan adegan menyanyinya daripada mencoba mengerti alur cerita filmnya. Seperti yang biasa dilakukan Kareena Kapoor, artis favoritku. Ia sangat lincah menggerak-gerakkan tubuhnya yang tinggi semampai ketika menari. Tapi adegan yang paling aku suka dari adegan lainya adalah saat ia berlari-lari lalu memutari pohon. Adegan itu sama seperti yang biasa kulakukan ketika aku bermain kucing duduk bersama Nafisah, bedanya aku tidak cuma berputar-putar di pohon, tapi sering juga memanjatnya.

“Khilyaaaa!!!” dog dog dog. “Kamu enggak denger ya?! Buka pintunya! Aku mau masuk!”

Lagi-lagi Kak Ida mengganguku. Aku benar-benar kesal padanya. Dia selalu begitu, seakan-akan dia ingin menjadikanku musuh bebuyutanya. Terlebih kalau akusedang enak-enaknya menikmati lagu India, dia selalu saja mengusikku. Lama-lama kesal juga aku padanya. Nah, ini nih yang paling aku tak suka darinya. Dia tak segan-segan mencabut colokan kabel radio dari ‘stop kontak’. Padahal diatahu aku paling tidak mau berurusan dengan benda yang bernama ‘stop kontak’ itu. Dulu aku pernah tersengat listrik, walaupun tak sampai membuat rambutku jadi jabrik dan membuat badanku menjadi gosong, tetap saja kejadian itu membuatku trauma dan takut kalau bersentuhan dengan listrik. Radio butut di kamarku ada tombol “power” bertuliskan “on/off” seperti radio-radio pada umumnya. Aku tinggal tekan saja tombol itu, kalau sudah bersuara, beres. Tak perlu lagi lah yau pegang-pegang ‘stop kontak’!

Aku menggeser anak kunci, Kak Ida buru-buru mendorong pintu dan menghambur masuk ke dalam kamar. Ketika Tanganya menjulur ke arah radio di atas meja, aku tahu apa yang akan dia perbuat. Dia akan menarik kabel colokanya dan kabur. Dia akan membiarkanku berteriak-teriak karena tidak berani menancapkan kabel itu kembali. Itu artinya dia akan menang. Oh, ternyata tidak. Dia hanya memutar tombol suara ke angka satu. Aku tak mau kalah, kuputar kembali ke angka sepuluh. Melihat Kak Ida geram, aku hanya cengengesan. Kak Ida memutar kembali tombol itu ke angka satu, aku balik putar ke angka sepuluh, dan seterusnya. Tangan kami sibuk putar kanan putar kiri. Mata kami saling melotot. Aku makin gemas karena Kak Ida tidak juga menyerah. Aku dorong pundaknya hingga ia terjatuh. Aku tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. Matanya mulai memerah, ia mengata-ngataiku.

“Dasar orang gila! Setiap hari kamu senyum-senyum sendiri di depan kaca. Dasar gendeng! Apa itu kamu pakai? Itu selendang yang biasa diompolin adik bayi! Hahaha.. kamu mau pakai sari neng ceritanya?! Khilya gila, Khilya gila...”

Aaaarrrrrrgghhhh! aku benar-benar dibuat kesal oleh Kak Ida. Masa aku dibilang gila. Dasar dianya saja yang tidak tahu seni! “Hei, kamu tuh yang gila! Sudah pergi sana! Dasar kurang kerjaan!”

“Kamu tau yang gila, Khilya!”

“Kamu!”

“Kamu!”

“Kamu tuh yang gila!”

“Enak saja! Kamu kali yang gila. Sarap! Khilya gila!”

“Kak Ida lebih gila. Dasar kurang kerjaan!”

“Kerjaanku ya gangguin orang gila, lah..!” he,he,he…

“Sudah. Sudah. Kalian ini apa-apaan, sih! Sudah besar kok masih saja suka berantem gitu. Memangnya tidak malu ya sama temen-temen kalian kalau mereka tahu kalian ini saudara tapi tidak pernah rukun?!” Tiba-tiba Ibu datang sambil berkacak pinggang.

“Kak Ida dulu sih yang mulai!”

“Enak saja main tuduh! Kamu tau yang duluan!”

“Kok nyalahin aku sih?! Kan kamu yang….”

“Masyaallah…, sudah nak, sudah! Kalau kalian sekarang ribut terus begini, kapan mau rukunya?”

“Kak Ida bilang aku gila…”

“Lha, memang dia gila kok. Lihat tuh, bu, dandananya si Khilya. Kaya orang gila gitu.” Kak Ida yang masih terduduk di bawah, jari telunjuknya naik turun mengarah badanku. Aku memandang Ibu berharap Ibu akan berkata : “Tidak kok, Khilya cantik dandan ala India begitu.” Tapi setelah sekian menit aku menunggu, alangkah kecewanya aku melihat reaksi Ibu justru tampak menahan ketawa dengan kedua tangan yang menutupi mulutnya sambil menggeleng-geleng pelan.Pikirku, sudah tak ada alasan untuk tetap mempertahankan diri. Bahkan Ibu pun ikut menertawaiku, bukanya membelaku.

***

Uwak Zainab menatapku sebentar, aku masih terisak-isak di hadapanya. Lalu uwak Zainab berjalan mendekatiku. Meraih tanganku dan menunutunku ke arah dipan. Ia mengangkat badanku dan mendudukakanku di atas kasur.

“Kamu kenapa lagi, Khilya? Berantem lagi sama Kak Ida?” Uwak mengusap-ngusap rambutku dengan lembut. Aku bisa merasakanya. Ia memang sayang padaku seperti sayang pada anaknya sendiri. Aku mengangguk sambil meremas-remas jari tanganku dan sesekali menyeka air mataku sendiri. Kata Ibu setiap aku menangis pipiku jadi merah mirip kepiting rebus, hidungku mengembang kempis seperti perut babi, mataku membengkak, mulutku melebar dan semua itu membuat wajahku terlihat jelek sekali. Ibu selalu menakuti kalau wajahku akan berubah menjadi monster yang buruk rupa kalau aku terlalu sering menangis. Jujur aku merasa khawatir dengan itu. Maka akupun berjanji kalau aku akan menangis dengan secantik mungkin. Tapi kata guruku di sekolah, untuk membuat wajah kita tetap terlihat manis dan cantik ialah dengan mengembangkan senyuman, sedangkan aku tidak mungkin menangis sambil mengembangkan senyuman. Akan sangat aneh jadinya nanti. Tapi aku sekarang benar-benar tak perduli dengan semua itu. Aku hanya ingin menangis dan menangis. Menumpahkan semua kekesalanku di rumah Uwak. Tentu saja sambil mencari pembelaan darinya.

“Coba kamu cerita sama uwak. Kenapa kamu sampai menangis seperti ini?”

Sejurus kemudian aku pun menceritakan semua pada uwak sambil masih terisak-isak. Tidak tahumengapa aku merasa sedih sekali. Aku merasa Ibu dan kakaku sendiri sudah tak lagi sayang padaku. Uwak mengangguk-angguk tanda mengerti. Mungkin lebih tepatnya mencoba mengerti dan memahami kata-kata anak berusia sembilan tahun yang sedang curhat dan sebenarnya sedang membutuhkan perhatian darinya saja.

“Masa kakakmu seperti itu? Dia kan lebih besar darimu.”

“Memang seperti itu uwak, kak Ida dari dulu memang nakal. Dia tidak sayang padaku. Dan Ibu selalu membelanya akhir-akhir ini. Kak Ida pasti sudah mempengaruhi Ibu. Sekarang aku jadi kesal sama Ibu,Uwak.” Hiks..

“Huss, kamu tidak boleh berfikiran buruk seperti itu, nak. Tidak baik berburuk sangka pada saudaramu sendiri, apalagi pada Ibumu. Tidak mungkin mereka tidak sayang padamu. Apa yang menurutmu salah belum tentu salah lho, nak. Pasti ada alasan yang membuat mereka bersikap begitu. Kamu sudah bertanya kenapa pada mereka?”

“Buat apa aku bertanya lagi! Ibu cuma sayang sama Kak Ida dan adik bayi saja. Pasti Ibu gak akan mau memperdulikanku.” Hiks, hiks..

“Cup, cup. Jangan nangis lagi, tuh mukamu sudah jelek begitu. Katanya kepingin kaya artis India yang cantik-cantik itu. Kalau mukamu mewek terus begitu kan orang-orang jadi pada takut liatnya nanti,”

Hiks, hiks, hiks.

“Ya udah, kalau begitu Uwak masak dulu yah, kalau kamu mau lanjutin nangisnya, di sini aja dulu. Nah, kalau sudah selesai, kamu boleh bobok. Okay?”

Aku meraih tangan Uwak Zainabku yang kata orang-orang biarpun sudah berumur tapi gaulnya kaya anak-anak ABG, “ Uwak, aku kan lagi minggat, tolong uwak jangan bilang siapa-siapa, ya?!“

“Siap boss!!!” Uwak tersenyum sangat manis padaku. Aku percaya ia pasti akan tutup mulut rapat-rapat mengenai pelarianku ini. Tak lama uwak meninggalkanku sendirian di atas dipan, dan aku merasa mataku sudah sangat lelah.

***

“Ayo masuk, nak, tidak apa-apa,” Uwak Zainab membujukku, aku tak bergeming. Walaupun kata UwakZainab Ibu sendiri yang meminta padanya untuk mempulangkanku, tapi aku enggan. Aku enggak mau Kak Ida menertawaiku. Masa orang minggat pulang sendiri! Bukankah seharusnya aku dijemput?! Bahkan mungkin aku harus dibujuk dulu agar aku mau pulang. Tapi ini tidak, aku malah melenggang pulang tanpa jemputan. Walaupun masih ada rasa sedikit kesal tapi sebenarnya aku merasa senang karena kata Uwak, Ibu dan Bapak mengkhawatirkanku.

Setelah beberapa menit Uwak Zainab merayuku, akhirnya aku memberanikan diri untuk masuk. Aku tidak lagi perduli dengan Kak Ida. Saat aku melangkah di ruang tengah, aku melihat Ibu sedang menyusui adik bayi di kursi dekat jendela, ada Kak Ida di sebelahnya sedang membaca buku, sepertinya buku pelajaran.

Sambil masih menunduk aku duduk diatas kursi dan ternyata Bapak duduk di sampingku. Aku baru sadar kalau kedatanganku memang telah ditunggu.

“Khilya, kamu masih marah sama kakakmu?”, aku merasakan tangan Bapak mengusap-usap punggungku. “tidak baik loh marahan lama-lama, apalagi sama saudara sendiri.”

Aku sedikit mengangkat kepalaku sambil berbicara pelan. “Kalian semua tidak sayang lagi padaku,kan?”

Sekilas aku melihat Bapak tersenyum, lalu aku menundukan kepalaku kembali. Selanjutnya Ibulah yang berbicara.

“Khilya, bagaimana mungkin kami tak sayang padamu. Kamu ini anak penurut yang sangat pintar dan selalu membanggakan orang tua, nak. Tidak ada alasan buat kami untuk tidak menyayangimu.”

“Lalu kenapa sekarang kalian sering melarang-larangku?”

“Bukan maksud kami mau melarang-larang kamu, tapi Ibu perhatikan nilai rapormu sekarang tak sebaik dulu, nilai semesteranmu kemarin juga banyak yang merah. Kalau boleh Ibu simpulkan, penyebabnya adalah karena kamu sekarang sudah jarang sekali belajar. Bahkan kata gurumu di sekolah juga katanya kamu kurang memperhatikan pelajaranmu. Boleh kok, nak, kalau kamu punya hobi. Misalnya kamu suka sekali dengan lagu-lagu India, tapi bukan berarti kamu jadi menghabiskan seluruh waktumu hanya untuk mendengarkan lagu-lagu India, kan? Lihat! Sekarang kamu gunakan juga waktu belajarmu untuk menonton film India di rumah Nafisah. Setiap Ibu mau ngomong, kamu sendiri sudah tidak punya waktu. Bahkan hanya untuk makan pun kamu sudah tidak punya.”

Aku terdiam, Kak Ida angkat bicara,

“Maafkan aku, yah, kalau kamu merasa sering dibuat marah olehku. Aku memang sering keterlaluan padamu. Itu karena aku sudah tidak tahu bagaimana memberitahumu kalau kebiasaanmu itu sudah mengganggu banyak orang di rumah ini. Adik bayi sering terkaget-kaget dengan suara musikmu itu dan aku jadi susah konsentrasi belajar, padahal kamu kan tahu sebentar lagi aku mau ujian. Ibu juga kalau mau istirahat enggak bisa karena rumah sangat berisik. Makanya aku cabut saja kabel colokanya.”

Aku masih diam.

“Jadi kamu sudah mengerti, kan, kenapa kami bersikap begitu padamu?”

Aku mengangguk pelan,

“Nah, mulai sekarang kamu harus mulai belajar untuk tenggang rasa dan belajar bagaimana caranya menghargai hak orang lain. Mengingat kita kan hidup itu saling berdampingan. Kamu sendiri diganggu tidak mau, kan? Kamu bisa mulai dari lingkungan keluarga dulu, nanti dengan sendirinya kamu sudah akan terbiasa jika berada di lingkungan luar.”

“Iya, Bapak benar. Tapi bolehkah aku bertanya sesuatu pada Ibu?”

“Apa, nak?”

“Kenapa Ibu kemarin sore menertawaiku?”

“Khilya, Khilya. Kamu perasa juga ya ternyata. Iya, jujur Ibu memang sempat geli melihat dandananmu. Tapi setelah Kak Ida memberitahu kalau kamu sedang menirukan gaya pakaianya perempuan-perempuan India, Ibu jadi malu sendiri. Bagaimana mungkin anak sekecil kamu sudah mengerti budaya asing. Bukan hanya Ibu, tapi kita semua bangga padamu karena kamu begitu pintar. Akan tetapi jangan besar kepala dulu, masih banyak yang harus kamu pelajari, asal bermanfaat, kami pasti akan dukung.”

“Maafkan aku ya, bu. Karena aku sempat berburuk sangka pada Ibu dan pada kalian semua.”

“Iya, tak apa.”

Aku baru mengerti, ternyata selama ini aku memang terlalu asyik dengan diri sendiri tanpa mau perdulikan orang lain. Akhirnya kudapatkan kembali kehangatan di keluargaku. Aku menoleh pada Uwak Zainab dan mencium tanganya sebagai ucapan terima kasih.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline