Lihat ke Halaman Asli

Kapitalisme, Gaya Hidup dan Remaja

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat dari kegelisahan penulis tentang fenomena dan fakta maraknya remaja yang terjerumus pada prilaku hedonis yang berorientasi pada kesenangan duniawai salah satunya adalah menjadi anggota geng motor, bolos sekolah, merokok, nongkrong di Mall, Kafe atau Warnet bahkan prilaku seks bebas. penulis kemudian merenungkan beberapa pertanyaan, gejala apa ini? internalisasi nilai apa yang merasuki jiwa remaja ini, sehingga prilaku kriminal dan melanggar norma-norma (agama, sosial dan hukum) dianggap bagian untuk menunjukan ekskitensi diri? Dan apa penyebabnya?. Atas dasar itulah kemudian penulis mencoba mencari jawabannya termasuk mencari legitimasi teoritis, konseptual dan akademis untuk menemukan jawaban dari beberapa pertanyaan itu.

Masa Transisi

Remaja adalah sosok yang secara psikologis berada dalam masa transisi menuju kematangan berpikir, emosi, dan kematangan untuk bisa mengidentifikasi dirinya sendiri, baik secara individu ataupun secara sosial (jati diri). Pada masa-masa ini, remaja seolah berada dalam level pencarian, kemudian akan mengeksplorasi dirinya sendiri dengan perwujudan mencari perhatian dan eksitensi diri. pada masa transisi ini, remaja sangat rentan sekali disusupi oleh pandangan-pandangan yang ia lihat secara visual kemudian ia terjemahkan ke dalam pikiran mereka. Sayangnya, pandangan-pandangan visual yang mereka saksikan sehari-hari adalah pandangan-pandangan yang membawa pikiran mereka terhadap idealitas semu yang selalu menginginkan kesenangan semata alias hedonisme. Bagi penulis, hedonisme adalah kata kunci untuk bisa menganalisa bagaimana para remaja ini bisa terjebak pada prilaku yang menyimpang ini, dan kemudian timbul pertanyaan lanjutan, bagaimana prinsip hedonis ini bisa terinternalisasi pada sebagian besar remaja?.

Gaya hidup Lahir dari Rahim Kapitalisme

Dalam kajian teori kritik sosial, penulis mencermati tentang adanya kesadaran “palsu” yang harus diterima oleh masyarakat dengan tujuan untuk melanggengkan sistem yang ada (Kapitalisme). Kesadaran “palsu” ini menjebak manusia kepada hal-hal yang sifatnya gaya hidup, materialisme semu yang membawa setiap individu seolah-olah berada pada zona nyaman eksistensi dirinya. Akan tetapi zona nyaman yang dianggap ideal oleh sebagian individu, terutama remaja yang masih dalam masa pencarian jati diri adalah zona nyaman yang mencontoh budaya-budaya popular yang mengidentikan dirinya dengan gambaran-gambaran (visualisasi) yang mereka lihat, sayangnya visualisasi yang sering ditampilkan oleh media-media terutama media Televisi adalah visualisasi tentang makna hidup yang dipenuhi dengan hasrat memenuhi hal-hal yang sifatnya “kesenangan” yang diidentikan dengan pemilikan barang yang mengubah pandangan dan prilaku setiap individu.

Dalam era teknologi informasi seperti sekarang ini, ada sebuah era baru dimana antara industri dengan media terjadi ketergantungan yang saling menguntungkan. Ketika Industri begitu banyak menghasilkan berbagai barang dan jasa, maka diperlukan sebuah media informasi yang secara massif menginformasikan (iklan) tentang produk tersebut, dengan tujuan terjadi konsumsi massa akan sebuah produk dimana keuntungan besar menjadi targetnya. Disinilah berbagai cara teknik pemberian informasi (iklan) tentang sebuah produk dilakukan, termasuk mengeksploitasi sisi gaya hidup, artinya bagaimana iklan tersebut bisa merubah kebutuhan sekunder (tidak utama) seolah-olah menjadi kebutuhan primer (utama) dengan frame gaya hidup. Inilah kapitalisme babak baru yang begitu massifnya sehingga merubah pandangan, sikap dan gaya hidup seseorang menjadi individu yang konsumtif, individu yang memposisikan kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer demi memuaskan gaya hidupnya dengan harapan eksistensinya akan lebih diakui. Kapitalisme sekarang ini adalah kapitalisme yang mengeksploitasi kesadaran “palsu” manusia akan nilai sebuah benda (materi) dan kesenangan. Kapitalisme menciptakan masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup.

Kesadaran “palsu” ini akhirnya memberikan pandangan baru pada setiap individu bahwa kebahagiaan identik dengan hal-hal yang bersifat materi. Punya Handphone baru adalah kebahagiaan, punya mobil atau motor terbaru adalah kebahagian, rumah mewah dan pakaian bermerek adalah kebahagiaan, berlama-lama di salon adalah kebahagiaan, itulah sebagian indikator kebahagiaan bagi seseorang yang telah terjebak pada kesadaran “palsu” mengenai idealitas hidupnya.

Ketika manusia terus-menerus mengejar kesenangan demi memuaskan gaya hidupnya (akumulasi kesadaran palsu), maka pada titik tertentu manusia tersebut akan menanggalkan nilai-nilai moral, etika, norma-norma sosial bahkan melanggar norma susila demi mencapai gaya hidup tertentu, dan remaja adalah korban yang paling besar dari paradigma dan cara berpikir baru ini, karena pada masa-masa transisi ini, masa persimpangan untuk memilih, remaja sangat rentan untuk terjebak pada hal-hal negatif. Akhirnya menjadi anggota geng motor, bolos sekolah, merokok kemudian nongkrong di Mall dan di Warnet atau terjebak pada seks bebas adalah pilihan baru untuk menjajal eksistensinya demi mencapai gaya hidup yang dianggapnya sebagai gaya hidup yang ideal. Maka tidaklah mengherankan bila beberapa waktu lalu Radar Tasikmalaya memberitakan fenomena esek-esek di Tasikmalaya dimana motivasi salah satu siswi dan mahasiswi menjadi PSK dan simpanan laki-laki hidung belang adalah untuk memuaskan gaya hidupnya yang konsumtif, seperti membeli Handphone baru, baju baru, perawatan di salon dan makan-makan di Mall atau Kafe. Inilah pola kehidupan yang menuntut seseorang individu untuk selalu memenuhi kebutuhan gaya hidupnya, apapun caranya walaupun harus melanggar norma-norma yang berlaku.

Penulis adalah Dosen dan Ketua Penerbitan JurnalPolitik dan Pemerintahan Fisip-Unsil

Sebagai salah satu usaha untuk menghindarkan para remaja dari pandangan-pandangan hedonis ini, perlu kiranya terjadi sinergitas usaha antara orang tua dan para pendidik (guru, dosen, ulama dan tokoh masyarakat) untuk memberikan nilai-nilai kesederhanaan dalam hidup. Tanamkan nilai-nilai kerja keras guna menjauhkan para remaja dari pandangan yang serba instan dan serba mudah untuk mendapatkan sesuatu. Sebagai salah satu upaya bagi para orang tua, hendaknya jangan dengan mudah memberikan sesuatu yang diminta oleh anak yang sifatnya materi kebendaan, seperti Handphone, laptop atau motor baru, ini sebagai upaya memupuk nilai-nilai kesederhanaan pada anak. Berikan filter pada anak-anak terhadap apa yang ditontonnya di televisi, jauhkan para remaja dari tayangan-tayangan iklan, sinetron atau film yang menonjolkan kemewahan, gaya hidup atau pergaulanala metropolis dan konsumtif apalagi tayangan-tayangan yang mengumbar syahwat, seperti fislm-film bertema komedi-seks atau horror-seks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline