Lihat ke Halaman Asli

Menimbang Presiden Perempuan di 2014 (dari substansi ke praktis)

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13557175051515846943

[caption id="attachment_222162" align="aligncenter" width="464" caption="Sumber foto : www.thetimes.co.uk"][/caption] Yurisprudensi perempuan dalam Al Qur’an sebagai inti kenormatifan eksistensi perempuan dewasa ini, difahami sebagai suatu hal yang problematik dalam segala segment keterlibatan perempuan dalam ruang publik. Inti kenormatifan yang menjadi titik derivasi pemaknaan adalah pada konsep keimamahan atau konsep kepemimpinan perempuan.  Di Indonesia yang mayoritas Islam, masih tabuh rasanya punya pemimpin perempuan. Mari kita bedah satu demi satu. Bertolak dari permasalahan ini, maka theologi yurisprudensi perempuan harus direduksi kandungan nilai-niai fundamentalnya untuk menemukan bentuk kemanusiaan mutakhir yang sejalan dengan perkembangan sejarah, serta perubahan manusia pada abad mutakhir. Untuk permasalahan tersebut, jika ditilik lebih dalam, terminology Islam dan kususnya Al Qur’an sebagai inti kenormatifan, maka secara hakiki perempuan dan laki-laki adalah dua makhluk yang tercipta dari substansi yang sama (Nafsun Wahidah -QS: 4:1). Landasan universal inilah yang kemudian menjadi titik pijak pola relasi sosial baru dalam dinamika politik keperempuanan di Indonesia. Telaah substansi Moralitas qur’ani sebagai nilai sentral inti pembenaran dalam Islam, adalah dasar epsitemik yang diharapkan mampu mengikat dan merubah mind-set sosial kita dalam rangka mengembalikan peran social leaderchip perempuan sebagai konsekuensi pergeseran dari cara berfikir lama tentang perempuan yang cenderung “androsentris” ke transposisi sosial yang lebih egaliter berkaitan dengan konsep keimamahan dan peran publik perempuan. Secara historik, Konsep kekhalifahan sejak wafatnya Rasulullah SAW, dalam konsepsi kepemimpinan, laki-laki dijadikan tujuan final dalam peran kepemimpinan. Dan kenyataan ini semakin kuat setelah adanya upaya penafsiran yang mendogmatisasikan kondisi tersebut. Konsesnsus normative yang melegalisasikan peran dogmatis kepemimpimam laki-laki merupakan kenyataan yang tidak imanen sifatnya, akan tetapi memiliki sosial interest yang mendalam dan luas, sesuai dengan setting sosiologis masyarakat Arab ketika itu yang didominasi kaum pria. Hal ini dibuktikan bahwa yurisprudensi perempuan dalam Islam merupakan hasil dari proses sejarah teresterial dari peradaban Islam, karena kehadiran yurisprudensi Islam tidak dapat dilepaskan dari perekembangan weltanschauung masyarakat Islam yang diperoleh melalui proses kognitif dari konfigurasi psikologis, antropologis, sosiologis, dan historis sejak abad VIII M. Oleh karena itu, dengan serta merta memaknai khalifah sebagai pemimpin tanpa melakukan pengetatan secara epistemik maka konsep kepemimpinan universalpun akan menjadi sangat sektarian dan cenderung mensubordinatkan komunitas tertentu (perempuan) dalam liang peradaban yang tak tertolong. Untuk meluruskan permasalahan ini maka konsepsi kekhalifahan manusia, lebih difahami sebagai suatu tugas dari Tuhan yang mendapatkan amanah untuk mengejawantahkan ayat-ayat-Nya dimuka bumi, sebagai konsekuensinya, semua manusia yang mendapatkan predikat kekhalifahan berkewajiban untuk menjalankan tugas kekhalifahan. Dengan demikian, tidak ada suatu determinasi yang bersifat dogmatis dalam konsepsi kekhalifahan universal. Nilai-nilai keegaliteran dalam Islam sebagaimana yang telah diuraikan adalah substansi kesetaraan (egalitarian) antara sesama manusia. Nilai-nilai tersebut harus dilembagakan dalam suatu bangunan ideologi (living value) agar daya dorong konseptual secara epistemik memiliki pijakan yang kuat dalam menopang dan memberikan ketahanan untuk membangkitkan image manusia yang mencerminkan moralitas keadilan dan kesetaraan dalam tata sosial yang Islami. Refleksi dari pemahaman nilai di atas, tidak serta merta dimanifestasikan dalam bentuk kesadaran yang dibangun dengan suatu tindakan yang pragmatis dan institusional, tanpa membiarkan nilai-nilai hakiki tentang kesamaan hak politik perempuan menjadi suatu mainstream yang ikut menggejala kepermukaan sebagai suatu pembiasaan kultur politik. Logika formal Logika keterlibatan perempuan dalam politik praktis selama ini, tidak ada bedanya dan saling berbanding lurus dengan logika politik kekuasaan yang dikemas dalam politik praktis dan masih terblunder apik oleh budaya patriarkhi, maka sampai pada persepsi ini, perempuan dan keterlibatannya dalam ranah politik tidak lebih dari instrument yang hanya menjadi alat legitimate keserta partai dalam pemilihan umum. Letak keseriusan kita dalam menerjemahkan idealitas hak politik perempuan adalah suatu kesungguhan yang ingin secara serius melibatkan perempuan sebagai bagian dari proses dialektika yang utuh berkaitan dengan kepemimpinan perempuan. Kita tak  cukup jika hanya berbangga bahwa kaum perempuan telah diberikan ruang politik (kuota 30%) atau di negeri ini perna memliki Presiden perempuan. Akan tetapi ada suatu bangunan kesadaran epistemik yang tak sekedar mempraksiskan perempuan dalam struktur politik dan kekuasaan. Sementara kita masih sangat miskin dengan konsepsi kekhalifahan perempuan. Padahal, dimensi kekhalifahan perempuan merupakan nilai-nilai yang universal dalam diri manusia, baik dalam kesadaran subyektif atau kesadaran dimana dirinya tersandung mekanisme psikologis, biologis, serta kondisi sosiologis dan juga ekonomis. Dari sejarah perkembangannya, manusia bermula dari nilai-nilai sentral yang sama (Nafsun Waahidah) sehingga nalar dan emosional kekuasaan dalam diskursus kepemimpinan harus dimulai dari kejujuran akan tugas, keajazian dan kewajiban yang sama dalam menjalankan amanah Tuhan di bumi. Demokrasi adalah produk pemikiran manusia yang sudah pasti tidak terlepas dari ruang sosio-antropoligis pada saat manusia merasakan pentingnya keasasian dan tanggungjawab kemanusiaan diperlakukan dengan benar. Olehnya itu sokongan besar demokrasi tentang pentingnya hak azasi manusia adalah nilai-nilai ideal yang perlu tetap dipertahankan dalam rahim politik ummat Islam di Indonesia. Demokrasi juga adalah suatu sistem keterwakilan yang meletakkan masyarakat pada strata dan orientasi yang sama yaitu Welfare State, demikian juga konsepsi kekhalifahan adalah sebuah predikat yang diberikan Allah kepada manusia sejak manusia menempati puncak legitimasinya sebagai khalifahtul fil ardh, pada kondisi ini manusia mendapatkan amanah sebagai wakil Tuhan yang menjalankan amanah untuk memberikan kedamaian bagi makhluk seluruh alam. Arti kekhalifahan dan kemanusiaan adalah suatu terminology yang utuh dengan menempatkan manusia sebagai makhluk yang sama-sama memliki fitrah keaIlahian. Manusia yang memili image ke Tuhanan ini adalah bentuk ideal dan ultimate yang harus terejawantahkan dalam respon manusia terhadap segala segment kehidupam duniawi. Dari keseluruhan pandangan di atas adalah tanpa bahwa nilai terdalam untuk sebuah praktek politik adalah keadilan dan kejujuran dalam memberlakukan kesamaan hak dan kewajiban dalam menjalankan amanah sebagai inti moralitas dari ideal-ideal yang diinginkan oleh seluruh rakyat di negeri ini, demi terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan yang utuh dan universal. Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline