Lihat ke Halaman Asli

Mafia dan Subsidi BBM

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mafia dan Subsidi BBM
Oleh Mulyadin Permana
Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menjadi isu panas setiap periode krusial suatu pemerintahan. Biasanya situasi krusial itu terjadi ketika pergantian pemerintahan, menjelang pemilu, dan gejolak kenaikan harga minyak dunia. Isu subsidi BBM selalu bergulir ketika pemerintah merasa kesulitan keuangan untuk menjalankan roda pemerintahan. Hal itu terjadi karena subsidi BBM berdampak langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikelola oleh pemerintah.

Isu subsidi BBM seolah-olah menjadi kontroversi pro dan kontra yang tak kunjung selesai. Banyak elite, tokoh, politisi, pengamat dan ekonom meminta subsidi BBM dipangkas. Memangkas subsidi berarti menaikkan harga BBM. Faktanya rencana kenaikan harga BBM selalu mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, khususnya mahasiswa, buruh dan rakyat kecil. Menaikkan harga BBM dipandang sebagai keinginan para elite, sedangkan mempertahankan subsidi BBM adalah keinginan rakyat.

Subsidi BBM dinilai terlalu memberatkan APBN. Alokasi subsidi BBM tahun 2014 sebesar Rp 350,3 triliun (total subsidi minyak, gas, listrik) atau sekitar 18 % dari total APBN sebesar Rp 1.816,7 triliun (detikFinance). Namun menurut saya subsidi BBM sebesar 18% untuk rakyat sangatlah wajar karena sumbangan terbesar APBN berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp 1.310,2 triliun.

APBN adalah uang rakyat, hasil keringat rakyat, wajar dan benar untuk mensubsidi rakyat. Subsidi BBM adalah subsidi makro untuk kepentingan ekonomi seluruh rakyat. Jika harga BBM dinaikkan, maka seluruh harga kebutuhan hidup akan naik drastis. Ketika harga kebutuhan hidup semakin mahal, maka seluruh rakyat akan merasakan dampaknya, terutama rakyat kecil.

Subsidi BBM selayaknya dinikmati oleh seluruh rakyat. Tidak boleh ada diskriminasi. Saya tidak habis pikir mengapa bicara subsidi BBM paradigmanya memusuhi orang kaya. Orang kaya dianggap paling banyak mengkonsumsi BBM bersubsidi. Padahal semakin kaya seseorang, semakin mewah kendaraannya, atau semakin banyak orang kaya, seharusnya semakin banyak pajak yang disumbangkan untuk APBN. Sehingga ekuevalen antara konsumsi BBM dengan sumbangan pajak yang diberikan kepada negara.

Memang benar pengguna terbesar BBM bersubsidi adalah kendaraan bermotor. Menurut data Korp Lalu Lintas Polri, jumlah kendaraan bermotor tahun 2013 sebanyak 104,211 juta unit. Komposisi terbanyak adalah sepeda motor 86,253 juta unit, mobil penumpang 10,54 juta unit (bus, angkot, mobil pribadi), dan mobil barang (truk, pikap, dan lainnya) 5,156 juta unit. Sehingga kalangan yang banyak menikmati BBM bersubsidi adalah pengguna sepeda motor dan angkutan umum, bukan semata orang kaya pengguna mobil pribadi.

Oleh karena itu, kita harus melihat subsidi BBM dengan benar dan mata terbuka. Subsidi BBM niscaya untuk meringankan beban hidup seluruh rakyat, khususnya para nelayan, pedagang dan petani. APBN hasil keringat rakyat dan BBM hasil kekayaan alam harus dikelola oleh negara untuk menyejahterakan rakyat. UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, bukan malah membuat rakyat sengsara.
Masalahnya, alokasi APBN justru banyak dihabiskan untuk belanja pegawai yang boros, tidak efektif dan efisien. Seharusnya biaya belanja pegawai yang diperketat, bukan subsidi untuk perputaran ekonomi rakyat. Lagi pula banyak cara untuk mengoptimalkan pemasukan negara, seperti menyita harta hasil korupsi, tangkap mafia minyak dimana-mana, awasi kebocoran anggaran dan pelesiran pejabat, basmi pengemplangan pajak, menagih pajak dan royalti Freeport, Newmont, Chevron, Chaltex, dan sebagainnya (tercatat ada 4000 perusahaan multinasional tidak bayar pajak selama 7 tahun), tinjau penggelembungan cost recovery perusahaan asing, dan lain-lain.

Selain itu, rakyat harus kritis mempertanyakan kebenaran alokasi anggaran subsidi BBM Rp 350,3 triliun. Rakyat perlu tahu darimana angka subsidi itu berasal. Kita perlu tahu berapa biaya produksi minyak dari hulu sampai hilir; berapa biaya lifting per barel, biaya pengangkutan minyak mentah ke Singapura, biaya pengelolaan minyak di Sungapura, biaya pengangkutan minyak jadi (BBM) dari Singapura, biaya distribusi BBM ke SPBU-SPBU, dan berapa biaya cost recovery produksi minyak?. Selama ini kita tidak pernah tahu dan tidak ada yang tahu.

Sumur-sumur minyak kita hanya bisa menghasilkan minyak mentah yang harus diolah menjadi BBM di Singapura yang diperjualbelikan melalui tangan PT Petral (anak usaha PT Pertamina) sebagai makelar, sehingga ada rantai panjang produksi. Kenapa minyak harus diolah di Singapura dan mengapa anak perusahaan PT Pertamina harus berdiri di Singapura?. Jawabannya tidak lain karena dari rantai panjang produksi minyak itulah para mafia mendapatkan keuntangan besar.

Seperti menurut ekonom Kwik Kian Gie bahwa dengan harga BBM Rp 4500 saja pertamina sudah untung. Tetapi mengapa harga premium Rp 6.500 dan solar Rp 5.500 masih harus disubsidi oleh APBN?. Hal ini yang belum bisa dimengerti. Selisih harga real produksi dengan harga jual sangat besar, sehingga melegitimasi kecurigaan atas adanya mafia minyak dalam rantai perdagangan minyak Indonesia.

Subsidi BBM sesungguhnya hanya untuk menutup ongkos mahal produksi minyak yang disebabkan oleh permainan mafia minyak. Oleh karena itu, pemerintah harus memutus mata rantai mafia minyak, bukan malah menaikkan harga BBM. Memangkas subsidi BBM sama saja mengorbankan rakyat atas salah urus negara oleh para elite dan mafia jahat yang menyandera negara. Save subsidi BBM untuk rakyat !

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline