Lihat ke Halaman Asli

Wanita Pelukis Kehidupan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak ada yang menyalahkan cinta, seperti tak ada juga yang menyalahkan pelangi setelah hujan reda. Ia ada untuk menunjukkan kuasa Tuhan dalam melukis kehidupan. seperti itulah cinta, ia hadir dan ia membenarkan segalanya. Segala keindahan.

Aku melihatnya di balik gusaran kabut yang kabur di bawah birunya langit. Pancaran wajahnya sangat jelas tertangkap. Bukan hanya aku, rumput ilalang yang bergoyang pun juga tahu bagaimana Tuhan menjelaskan kecantikannya pada dunia. Indah yang seindah-indahnya. Jika kalian melihat senja itu indah, dan embun pagi itu menyegarkan—dia telah memiliki keduanya. Walau sebenarnya kecantikan yang ia punyai tidak dapat tergambarkan oleh kecantikan apapun.

Aku belum pernah mengenal perempuan yang satu ini, walau sudah berkali-kali aku melihatnya duduk di danau menemani Minggu yang membiru. Aku tak berani menyapanya—hanya sekadar menatap dan menikmati keindahannya lewat dua bola mata yang telanjang. Dia selalu membawa kanvas dan beberapa cat warna—aku menebak dia adalah seorang pelukis. Tapi dia hanya melukis danau itu—tak ada yang lain, hanya danau. Aku tidak bisa menebak lebih. Dan itu sesuatu yang ganjil dalam hatiku—aku ingin mengenalnya lebih dekat.

Dia duduk di bawah pohon berjarak sepuluh meter dari danau. dan aku mempunyai cara tersendiri untuk dapat mengenalnya. Aku harus mengenalnya. Walau hanya sekadar tahu jenis suaranya.

Aku memberanikan diri untuk terus mondar-mandir di depan danau itu, dengan maksud dia akan terganggu oleh tingkah lakuku. Sesekali aku bersiul tidak jelas, menendang-nendang batu dan juga seringkali mengganggui kelinci-kelinci putih di pinggir danau—itulah cara seorang pengecut sepertiku untuk dapat dikenal.

Aku melihatnya tersenyum melihat tingkahku—tidak terganggu—malah semakin asik dia menorehkan warna di atas kanvasnya. Sepertinya cara ini tidak akan berhasil. Satu-satunya cara adalah menghampirinya dan mencoba berkenalan. Kurasa angin sepoi-sepoi ini merestui segala usahaku. Anggukan pohon menyahut gerutuku.

“Boleh aku duduk di sini?” aku gemetar, walau akhirnya kuberanikan juga duduk di sampingnya. “Kenalkan namaku Dewa,” aku mengulurkan tangan.

“Namaku Melati, silahkan duduk,” ia menjawab dengan senyuman manis berseri.

Namanya Melati, sama seperti harumnya. Harum bunga melati yang menyejukkan. Dan kini aku sudah mengenal suaranya, lembut dan penuh makna. matanya hanya tertuju pada danau itu—terlihat  dari kaca-kaca di matanya. Ketika semakin kudekatkan pandangan pada lukisannya. Aku melihat diriku yang tadi mondar-mandir tidak jelas dan mengganggui kelinci. Dia menggambarku.

“Kenapa kau melukisku?”

“Tidak, aku tidak melukismu.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline