Lihat ke Halaman Asli

LGBT Pemula Perlu Negosiasi Analogi

Diperbarui: 17 Februari 2016   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="Pahami diri anda. Dok http://www.firstcitynetwork.net/wp-content/uploads/2015/09/simon_news_lgbt1.png"][/caption]Semakin hari perbincangan masalah LGBT semakin hangat, lebih banyak mendominasi sisi kontra ketimbang pro. Hal yang wajar berbicara masalah yang tabu di tengah masyarakat sekaligus di luar dari biasanya. Cuma dalam tulisan saya tidak ingin menjadi bagian yang mendukung atau malah sebaliknya yang ikut menolak keras adanya LGBT. Soal penolakan sulit sekali dilakukan, sebab ini berbicara soal kebebasan, hak asasi manusia, dan sebagainya yang menjadi polemik di kalangan kita saat ini. Setiap orang bebas menentukan jalan hidupnya, hanya saja yang perlu kita waspadai adalah apabila tindakan mereka (LGBT) merugikan atau bahkan mencelakakan kita. Hal semacam ini patut untuk dipertimbangkan.

Kembali pada maksud dan tujuan saya di awal, bahwa saya bukan pendukung, bukan pula orang yang menolak keras adanya LGBT. Saya bukan tipe penindas atau saya bukan pula tipe yang suka akan sebuah keburukan. Itu sebabnya saya menuliskan sebatas apa yang hendak saya sampaikan saja terkait bagaimana mengubah haluan yang salah tersebut kembali pada arah yang sebetulnya. Paling tidak, kita tidak menjadi orang yang pintar berbicara dengan melakukan tolakan keras, berbicara ini dan itu, namun tidak memberikan solusi yang baik untuk mereka. Coba berpikir manis dan santai sedikit, lalu pikirkan bagaimana mengubah mindset yang salah menjadi lebih mulus, ya paling tidak untuk kebaikan bersama. Jadi tidak ada istilah deskriminasi, mencaci maki bahkan sampai mengutuk mereka seperti manusia yang paling menjijikan. Tetap jaga nilai sebagai sesama manusia, dengan menebar cinta ke siapa saja.

Baik, bicara soal LGBT memang menyimpang, saya katakan demikian karena berlawanan dengan kodrat. Laki-laki dipasangkan dengan wanita dan sebaliknya. Saya akan berikan analogi menarik mengenai bagaimana perbedaan manusia dengan binatang. Binatang tahu mana laki dan mana perempuan, terlepas siapa yang dinikahinya. Nah manusia lebih beradab lagi dengan akalnya memilih pasangan lawan jenis yang bukan sedarahnya. Loh, kalau yang suka sesama jenis masuk dalam golongan mana? Nah tentu ini harus dijawab sendiri oleh mereka yang mengalami kecenderungan LGBT tersebut.

Berikutnya, laki-laki dilahirkan sebagai “pemberi” dan wanita dilahirkan sebagai “penerima”, bisa ditafsirkan dalam hal apa saja. Jika dua hal yang berlawanan bertemu dengan kutub yang berbeda, maka akan terjadi daya tarik menarik. Loh, kalau sama-sama gimana? Cukup dijawab oleh mereka yang memiliki kecenderungan LGBT saja. Lalu, apa yang mengasyik dari mencintai sesama laki-laki? Perhatian? Tanggung jawab? Uang? Atau malah “barang” yang sama dengan ukuran yang berbeda. Coba pikirkan sesuatu hal yang menjijikan dari “barang” tersebut. Tidak mungkin tidak ada hal yang menjijikan, jangan pernah melihat paras atau sesuatu yang dianggap perpect atau menggairahkan. Dengan begitu akan ada sesuatu yang membatasi gerak untuk menuju pada penyimpangan yang tidak normal tersebut.

Jika pernah mengalami sakit hati atau kasus lain yang mengarahkan untuk menjadi seorang LGBT, jangan mudah beralih pada sesuatu hal yang dianggap sebagai solusi. Belajarlah untuk menerima dan mencoba mencari solusi yang baik. Pilihan yang cenderung tergesa-gesa tidak akan menjamin solusi yang baik. Lakukan pendekatan yang berbeda, berbicara dengan baik berdua (laki dan perempuan), dan jika anda terlanjur memiliki perasaan suka dengan sesama, coba belajar untuk berdiskusi di antara kalian. Berdiskusi bukan untuk mengikuti alur cinta yang terlarang tersebut, namun mencari solusi terbaik agar tidak terjebak semakin dalam di dunia LGBT.

Belajarlah menikmati posisi terbaik saat ini dan perbanyak aktivitas positif. Pandang kaca yang besar di depan diri kita, lalu tanyakan seberapa banyak hal terbaik yang sudah kita lakukan; ingat keluarga, orang tua, dan bahkan cita-cita besar yang pernah diutarakan. Bangun kebiasaan positif dan jauhi hal-hal yang berbau kecenderungan LGBT. Percayalah semakin belajar menjauhi hal berbau LGBT, semakin diri kita bisa kembali pada kodrat yang sejatinya.

LGBT memang fenomena yang kadang tidak bisa dihentikan begitu saja, lagi-lagi soal kecenderungan dan perasaan. Hanya saja, saya begitu yakin bahwa di bawah alam sadar mereka memiliki keinginan untuk hidup normal layaknya pasangan hidup di tengah kehidupan ini. Maka dari itu, harus memberikan kesempatan mereka untuk berpikir, menyendiri dan menyadari apa yang ada. Dengan begitu, penindasan dan tolakan keras yang dilayangkan kepada mereka bukan malah menyudutkan atau bahkan membuat ulah mereka menjadi-jadi. Memang tidak ada yang bisa menjami LGBT bisa diselesaikan dengan mudah, tapi ingat masih ada harapan untuk mencari solusi itu semua.

Terakhir, jika semua hal tidak berdampak pada diri anda, coba kembali pada ajaran yang anda yakini. Tanyakan pada Tuhan apa maunya Dia. Penuh keikhlasan dan berdoa dengan sungguh-sungguh, makan saya yakin anda akan menemukan jawaban. 

 

Mahasiswa Filsafat

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline