Kemarin, aku merencanakan sebuah kegiatan workshoppenulisan buku untuk para guru. Informasi alur kegiatan yang direncanakan memakan waktu sampai 4 bulan tersebut, segera kususun. Tahapan kegiatan mulai pada bulan November 2017 sampai Februari 2018. Info kegiatan tersebut selanjutnya aku share ke media sosial yang ada dengan format png. Namun, setelah aku unggah, baru tersadar bahwa tulisan yang seharusnya tahun 2018, tertulis 2017. Aku pun secara spontan berpikir, tentu mereka tahu yang kumaksud. Tidak mungkin kegiatannya akhir 2017 lalu kembali lagi ke awal 2017. Pikirku yakin.
Kegiatan hampir sebulan lagi, namun infonya sudah ku share dengan maksud mendapat respon cepat yang mau ikutan. Ternyata, benar respon pun banyak, hanya saja bukan mau ikutan. Mereka merespon tulisan tahun 2017 yang sejatinya 2018. Candaan, cibiran, bahkan olokan pun berkejaran di kolom komentar. Aku betul-betul tertegun dengan peristiwa ini. Sama sekali tak menduga respon "teman-teman" demikian. Masih terlalu banyak hal positif, benar, dan bermanfaat yang tertuang dalam info kegiatan itu, tapi mengapa yang "salah" itu yang mendapat respon. Kesalahan yang mungkin tidak lebih dari 1% dari keseluruhan kalimat dan kata dari info tersebut. Aku kira, kesalahan itu juga bisa dipikirkan pembenarannya bagi orang-orang yang tidak membutuhkan kepintaran lebih. Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada terlihat.
Namun, sebenarnya baik juga mendapat respon demikian. Itu artinya mereka teliti dan saksama dalam membaca info kegiatan tersebut. Itu artinya lagi, mereka ingin ikutan, semoga saja. Kalau tidak, berarti mereka-mereka memang hanya mencari-cari apa yang salah. Ironisnya lagi, kesalahan yang sangat kecil itulah yang dibesar-besarkan, bahkan ada kesan mereka hebat telah menemukan kesalahan itu, dan orang yang dipersalahkan itu hanya berkemampuan cetek.
Aku saja yang cuma rakyat kecil, mendapat respon yang demikian. Apalagi Pak Anies Baswedan yang seorang gubernur ibukota. Satu kata saja dalam pidato Pak Anies menjadikan arahan pertamanya sebagai gubernur yang penuh hikmah serta makna tersebut, tak ada artinya buat mereka. Tidak hanya tak ada artinya, malah disalahartikan menjadi negatif. Kata "pribumi" yang dilontarkan gubernur baru DKI itu, telah membuatnya sampai dilaporkan ke polisi. Ternyata, sungguh saat ini kecenderungan mengangkat dan membesarkan kesalahan dibanding membicarakan dan menyanjung kebenaran.
Untung, aku bukan pak Anies. Kalau tidak, aku mungkin sudah dipanggil polisi karena aduan pihak-pihak yang tersinggung kalender atau penanggalan, aku salahgunakan. Lebih heboh lagi, mungkin juga karena penanggalan itu berlaku secara internasional, aku dilaporkan ke badan penanggalan dunia. Bisa repot aku. Dari sini aku belajar banyak bahwa kita, termasuk aku mungkin, lebih responsif terhadap hal-hal yang salah. Meskipun yang salah itu merupakan salah satu unsur dari seribu unsur pada satu sistem.
Sebagai guru, aku juga mendapati anak-anak yang sering saling ejek dan sering menyebut hal-hal yang negatif pada temannya. Bahkan menjadi lumrah, menanyakan seseorang dengan menyebut ciri-ciri pisik atau karakter yang buruk pada orang tersebut. Anda kenal si A yang kakiknya terlihat pincang sebelah. Mengapa harus kelurangan orang tersebut yang menjadi penandanya.
Mengapa bukan kelebihannya. Anda kenal si B yang mempunyai suara merdu itu. Mengapa bukan seperti itu yang kita biasakan? Intinya, sejatinya semua kita harus bijak dalam semua hal. Adakalanya diam itu adalah emas, kalau komentar atau bicara kita tak bermanfaat. Diam bukan berarti kita tidak, hanya saja kita telah paham bahwa dia, salah. Diam juga tidak berarti bodoh, hanya saja kita yakin bahwa tentu hal tersebut ada penjelasannya. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H