Lihat ke Halaman Asli

Kartini Masa Kini

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika kita berbicara tentang gender, maka ada satu nama yang selalu diidentikkan dengan hal tersebut. Kartini. Pahlawan emansipasi wanita yang saat ini diistilahkan dengan persamaan gender. Saat ini, perempuan tak ada bedanya dengan lelaki. Bahkan, di beberapa aspek kehidupan, perempuan, banyak yang lebih hebat dibanding lelaki. Bukan hanya lelaki yang saat ini mencari penghasilan dalam keluarga, tapi sudah lumrah perempuan juga bekerja di luar rumah. Bahkan, ada lelaki yang justru tinggal di rumah, sementara istrinya yang menjadi pencari nafkah keluarga.

a.Arti Persamaan Gender

Di bidang olahraga, sesuatu yang dulu tabu digemari perempuan, saat ini juga menjadi trend tersendiri yang diminati sebagian kaum hawa. Sepak bola, takraw, angkat besi, bahkan tinju sekalipun telah dilombakan untuk kategori putri. Semua itu, masuk dalam lingkup permasalahan gender sehingga harus disamakan antara lelaki dengan perempuan. Apalagi, konon negara yang berkiblat dari prinsip demokratisasi, sangat menjunjung tinggi persamaan gender. Namun, hal yang masih menjadi tanda tanya besar bagi kita sebagian bangsa Indonesia adalah : Apakah benar tujuan memperjuangkan kaum perempuan oleh Kartini pada waktu itu adalah apa yang saat ini terjadi? Kalau memang benar itu, betapa luar biasanya Kartini yang mampu memprediksi kejadian pada masa sekarang ini atau lebih seratus tahun pada masanya. Bagaimana pula ajaran Rasulullah Muhammad SAW dalam mengangkat derajat kaum hawa? Apakah Rasulullah juga menginginkan “derajat” perempuan terangkat sampai seperti saat ini?

Persamaan gender yang secara luas telah terkampanyekan ternyata tak lagi murni untuk hal yang positif saja. Lihat saja prilaku dan sikap yang saat ini juga telah lumrah pada kaum yang dulu dikenal dengan pakaian sopan serta kehalusan tutur katanya tersebut. Kini, eksploitasi kaum hawa ternyata bukan saja dilakukan oleh kaum adam belaka, tetapi justru juga dilakukan oleh mereka sendiri. Pakaian yang tertutup menjadi terbuka serta bangga dengan sebutan sexy. Prilaku amoral juga tak asing lagi di kaum yang dulunya lemah gemulai ini. Menutup aurat dengan pakaian Islami ternyata masih banyak yang sekadar sebagai trend berpakaian saja, tanpa terimbas dengan sikap dan prilakunya yang memang harus tidak sama dengan pria. Tayangan media elektronik yang dengan vulgar mempertontonkan “eksploitasi” raga perempuan jelas menambah runyamnya arti dari persamaan gender atau emansipasi wanita tersebut. Apakah memang persamaan gender juga berlaku pada hal-hal yang negatif?

b.Mimpi Kartini

Jika kita kembali mendalami kisah perjuangan Kartini, maka tersimpulkan dengan jelas, betapa kondisi perempuan saat itu sangat memprihatinkan. Jangankan perempuan dari kalangan biasa, Kartini saja dari kalangan ningrat masih terdzalimi. Dia harus dipingit pada usia 12 tahun dan harus menikah pada usia 24 tahun itupun menjadi istri ketiga dari seorang bupati Rembang saat itu. Lalu apa simpul dari surat-surat Kartini yang terkenal itu? Kartini ternyata menginginkan kaumnya untuk dapat mengecap bangku sekolah. Kartini menginginkan kaumnya menjadi pintar, agar mereka tak lagi dizalimi seperti yang terjadi pada dirinya dan kaumnya pada masa itu. Kartini menginginkan kaumnya tegak sama tinggi bahkan lebih dengan kaum lelaki, jalannya adalah dengan sekolah atau menjadi pintar. Tak ada keinginan Kartini untuk menjadikan kaumnya menjadi “lelaki” atau sama dengan lelaki. Kartini memimpikan kaumnya dihormati oleh lelaki sebagai perempuan. Kepintaran bukanlah ciri khas lelaki, tetapi kemampuan manusia yang diperoleh melalui proses belajar. Kepintaran tidak sama dengan kekekaran, kekuatan pisik, pakaian yang cukup menutup dari pusar sampai lutut, kepala rumah tangga, dan lainnya yang merupakan ciri khas kaum adam.

Kartini masa kini adalah perempuan-perempuan yang tetap menjaga jati dirinya sebagai perempuan serta pintar. Perempuan yang membuat kaumnya bangga atas kehebatannya (kepintarannya) serta mendapat pengakuan dari lelaki. Perempuan yang konsen menjaga auratnya dengan pakaian tertutup sebagaimana tuntunan Islam serta terimbas pada sikap prilaku yang Islami pula. Konsep penghormatan lelaki kepada perempuan sebenarnya adalah tatkala kaum gemulai itu mampu menjaga kondratnya sebagai perempuan dan otaknya (akal pikirannya) tak kalah dengan kaum  “kekar” tersebut.

Ketika persamaan gender saat ini berada pada titik “kebablasan”, makna yakinlah bahwa Kartini tidak mengharapkan hal tersebut, apalagi Rasulullah saat memperjuangkan untuk mengangkat derajat kaum pendamping lelaki itu. Perempuan berasal dari tulang rusuk lelaki, maka kaum adam harusnya malu jika menjadikan perempuan sebagai tulang punggung dalam keluarga. Malah, jika kita mau jujur, maka yang harus banyak mengerti terhadap kondrat perempuan adalah lelaki. Dalam hal membina rumah tangga, lelaki sebagai suami harus mampu membantu sang istri. Rasulullah banyak memberi contoh sikap dan prilaku yang intinya turut serta mengerjakan tugas-tugas perempuan dalam keluarga. Oleh karena itu, inti dari emansipasi wanita dan persamaan gender bukan diartikan wanita harus menjadi lelaki atau mencontoh lelaki, tetapi adalah sama-sama focus terhadap kondrat sesuai yang telah diamanatkan dalam ajaran agama. Agama menegaskan lelaki adalah pemimpin perempuan. Bukan berarti lelaki bosnya perempuan yang seenaknya dapat berbuat apa saja. Bukan juga diartikan lelaki harus berada di atas dari perempuan.  Setiap kumpulan mesti ada pemimpinnya. Di sinilah filosofi penegasan tersebut. SEKIAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline