Lihat ke Halaman Asli

Menilai Siswa Secara Obyektif

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Banyak guru dan juga dosen memberikan nilai kepada peserta didik apa adanya. Dengan rumus

tugas + absen = nilai

Konsekuensinya adalah guru dan dosen itu tidak akan mengenal/tidak mau tahu nama siswa. Dengan hanya mengatakan”cukup katakan nomor absen anda”. Kalau seperti ini apa bedanya dengan mengatur sebuah mesin/ robot yang tidak memiliki hati, cukup mencari tahu nomor inisial dari robot itu lalu isi baterenya kemudian tambahkan program ke dalamnya maka jadilah ia robot terbaik.

Siswa itu manusia bukan mesin yang di operasikan dan dikendalikan. Tanpa menyentuh hati manusia, akan sangat sulit untuk mendidiknya. Tugas seorang dosen/guru harusnya bukan hanya memberi tahu apa itu isi buku, apa rumus yang digunakan, dan apa tugas yang harus dilaksanakan.

Tidak mengenal pribadi siswa sangatlah menyakitkan bagi seorang siswa. Karena ia akan merasa bahwa hidup ini hanya kegiatan untuk mendapatkan nilai. Sehingga, tidak terpikirkan untuk berbuat sopan. Walaupun sopan, semua hanya berpura-pura untuk mendapatkan nilai semata.

Hal ini bukan berarti siapa yang lebih dekat kepada guru atau dosen akan mendapatkan nilai bagus.Bukan.Tetapi, guru dan dosen harus melakukan pendekatan kepada siswa dan memperbaiki akhlaknya sentuh hatinya, berikan semangat belajar, berikan pengertian kepadanya manfaat belafar, Didiklah dia, hukum dia bila tidak sopan, dan berikan penghargaan bila ia berlaku baik. Ini berkaitan dengan tulisan saya , 15 januari 2013 “Kurangnya tenaga pendidik”

Apakah nilai akan yang tertulis di lemaran raport dan IP yang tinggi menunujukkan kualitas seorang siswa/mahasiswa? Semua orang pasti sepakat tidak, perlu ditekankan jika cara mendidiknya tidak mendidik akhlak yang terjadi malah guru/dosen itu terlihat seperti mengatakan “yang penting saya mengajar dan kalian mengerjakan tugas yang saya berikan dan saya dapat honor tentunya”

Keuntungan dari cara menilai secara obyektif memang nilai yang di beri guru/dosen itu memang jujur, adil dan apa adanya, tapi apa akhlak siswa/mahasiswa berubah? Oh, tidak mungkin!

Model ini lebih sering digunakan oleh para dosen. Karena beranggapan bahwa para mahasiswanya sudah dewasa, atau lebih dikenal cara belajar orang dewasa. (Andragogi)

Mungkin ini salah satu penyebab banyak orang-orang yang telah meraih gelar akademik yang menduduki jabatan malah berlaku tidak bermoral.

Model pengajaran yang terbaik adalah dari hati ke hati. Bukannya dari otak ke otak, atau lebih parahnya hanya mentransfer file dari dosen ke mahasiswa.

Penulis lebih merasa kuliah hanya mendapatkan file saja dan saya sudah dengan sangat mudah sekali menjawab soal uts, atau uas. Dan mendapatkan ip yang tinggi dan saya tidak tahu apa itu bisa dibanggakan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline