Hari Raya Penuh Cinta dan Kasih Sayang
Mohammad Supriyadi
Nahdliyin
Tak terasa, bulan yang penuh berkah (syahrul mubaarak) meninggalkan kita. Dalam posisi ini, rasulullah meneteskan air mata, sembari bersujud dan berdoa. Mungkinkah Allah akan memberikan umur yang panjang, sehingga dapat menikmati indahnya ramadhan yang akan datang.
Sebulan kita digembleng dengan raga yang penuh kesensaraan. Pagi hari hingga terbenamnya matahari, kita dilarang apa yang sebelumnya bukan larangan. Makan, minum dan beberapa yang membatalkan puasa, bukan larangan sebelum masuk bulan ramadhan. Di titik itulah kita diuji, dengan jiwa yang dahaga dan lapar. Afalaa tat taquun.
Penggalan ayat dari Surat Al Baqarah ayat 184 di atas, merupakan target diwajibkannya berpuasa. Penekanan ibadah puasa bukan pada masa kita menjalankan. Tapi, inti dari ajaran dan makna puasa ada pada setelah kita ditinggalkan bulan suci ramadhan. Mulai dari perilaku, tutur kata, serta kasih sayang dan cinta kita kepada sesama.
Akhir dari rangkaian ibadah puasa, kita diwajibkan membayar zakat—fitrah maupun mal—bagi yang mampu. Zakat dari arti spiritual keagamaan maupun sosial, membantu meringankan beban kehidupan bagi yang tidak mampu disaat waktu yang bahagia (hari raya). Kebagian itu haru mampu dirasakan oleh seluruh muslim “kaffah” sebagai bentuk “kemenangan” pasca ramadhan.
Hari raya merupakan wadah pendek dari ujian semua itu. Dimana budaya dan adat istiadat nusantara, merayakan akhir ramadhan dengan bersilaturrahim dan bersalaman saling memaafkan antar sesama. Bahkan sebagian muslim, lebih mementingkan hari raya idul fitri daripada bulan ramadhan. Ada logika yang terbalik.
Imam Syibawih dalam kitabnya “ihya’ ulumuddin” sudah memprediksi lebih awal, bahwa kita tidak bisa menyalahkannya, sebab kadar keimanan seseorang bertingkat. Namun, yang terpenting dari kadar dan tingkatan tersebut, imam syibaweh menekankan, bahwa baik orang yang beriman daripada mereka yang kafir (tidak berimanan sama sekali).