Lihat ke Halaman Asli

Pancasila dan Potret Kekerasan Agama

Diperbarui: 24 Maret 2017   11:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Mukhlisin[*]

Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika mencatat sepanjang tahun 2016 terjadi 23 kasus intoleransi. Angka itu meningkat dibanding 15 kasus yang terjadi pada 2015. Sedangkan tahun 2011 hingga 2014 hanya ada lima kasus. Dari 23 kasus yang terjadi, 13 di antaranya berkaitan dengan kebebasan beragama dan 10 lainnya menyangkut kebebasan berekspresi.

Kasus teranyar awal tahun 2017, Bupati Bantul Suharsono berjanji akan memutasi Camat Pajangan Yulius Suharto yang beragama Katolik. Yulius Suharto yang beragama Katolik akan diganti karena dianggap tak sesuai karakteristik masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Protes kelompok massa muncul setelah Yulius Suharto meresmikan sebuah patung kepala Yesus di Gereja Santo Yakobus Alfeus.   

Yogyakarta yang sejak 2008 dinobatkan sebagai kota toleransi, kekerasan agama juga muncul di lingkungan kampus. Tepatnya awal Desember 2016, muncul ancaman dan penurunan paksa baliho penerimaan mahasiswa baru karena bergambar mahasiswi berjilbab di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta oleh Forum Umat Islam.

Pada Februari 2016, kekerasan agama juga terjadi di Pondok Pesantren Al Fattah di Banguntapan, Bantul, yang digunakan sebagai pusat pendidikan Waria di Indonesia ditutup setelah didatangi massa yang mengatasnamakan Front Jihad Islam.

Berbagai potret kekerasan agama di lingkungan pemerintah, kampus dan pesantren jelas menodai Yogyakarta sebagai kota toleransi. Penyerangan kelompok yang mengatasnamakan agama terhadap pihak lain yang berbeda adalah sebuah ironi di negara yang memuliakan kebersatuan dalam keragaman, Bhinneka Tunggal Ika.

Kekerasan telah menjadi satu-satunya alat untuk menghapus dan menghilangkan orang lain yang berbeda. Agama yang menjadi sepirit pemersatu dalam sila pertama Pancasila justru dipakai untuk memecahbelah kebersamaan yang harusnya menjadi anugrah bagi seluruh bangsa ini.

Pancasila memupuk rasa persatuan dan kesatuan di antara warga negara. Dengan dilandasi semangat gotong-royong seharusnya mampu mengembangkan kekuatan bersama sekaligus memperkokoh NKRI. Bagaimanapun, kekuatan bangsa Indonesia justru berawal dari kebersamaan seluruh anak bangsa yang berbeda bahasa, suku dan agama.

Intoleransi

Dalam dua dekade terakhir ini Indonesia menjadi salah satu laboratorium di dunia yang paling produktif dalam memproduksi aneka kisah tragis berporos kekerasan agama. Dengannya, menempatkan Indonesia sebagai ”perpustakaan” yang menyimpan aneka dokumen berbasis kekerasan yang menjadikan agama sebagai pembenar.

Kekerasan agama adalah masalah klasik dari intoleransi. Ia tampil dengan banyak pola atau gerakan dan modusnya. Ia kadang hadir sebagai sikap individu. Muncul pula sebagai pilihan kelompok. Ia kadang didesain oleh sekelompok orang yang menyimpan kepentingan dan tendesi negatif, kadang pula diyakini secara naif sebagai kesalehan dan kualitas keberimanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline