Lihat ke Halaman Asli

Didik Fitrianto

Mencintai Laut, Lumpur dan Hujan

“Menentukan Pergantian Musim Menggunakan Ikan Ipung” Kearifan Lokal di Kabupaten Sikka, Flores

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14245907241796198620

[caption id="attachment_398607" align="aligncenter" width="576" caption="Salah satu warga yang sedang menangkap ikan ipung"][/caption]

Pergantian musim beberapa tahun terakhir sulit diprediksi kedatangannya, musim hujan dan musim panas bisa datang kapan saja. Kecanggihan teknologi pun hanya bisa memprediksi musim atau cuaca secara rutinitas saja, artinya musim hujan dan musim kemarau tiap tahunnya sudah bisa diketahui, misalnya musim hujan dimulai pada bulan Desember dan musim kemarau mulai datang bulan Juni.

Seiring perubahan iklim dan bertambahnya usia bumi yang kita pijak, perubahan musim pun ikut berubah, siklus datangnya musim hujan dan kemarau mengalami pergeseran waktu, baik bulan, hari, dan jam.

Di banyak tempat di Indonesia yang terdiri dari beribu pulau, budaya dan tradisi, masing – masing daerah memiliki kearifan lokal dalam menentukan pergantian musim, di Jawa misalnya ada kearifan lokal yang disebut pranata mangsa untuk penentuan musim.

Pranata mangsa adalah penanggalan yang dikaitkan dengan gejala alam yang dimanfaatkan sebagai petunjuk dalam kegiatan pertanian dan persiapan dalam menghadapai bencana (wabah penyakit, kekeringan, banjir) yang akan muncul pada saat-saat tertentu.

Di Pulau Flores juga menyimpan berbagai macam kearifan lokal yang berkaitan dengan pergantian musim, salah satunya adalah menggunakan ‘Ikan Ipung’ yang sudah menjadi tradisi masyarakat pesisir pantai utara di Kabupaten Sikka.

Ikan ipung adalah sejenis ikan kecil mirip ikan teri, ikan tersebut digunakan oleh masyarakat di Desa Reroroja, Magepanda dan Desa Done di Kabupaten Sikka untuk  menentukan dimulainya pergantian musim, dari musim hujan ke musim kemarau atau musim panas.

Masyarakat di Desa Reroroja, Magepanda, dan Done menyakini pergantian musim akan terjadi apabila ditandai dengan kemunculan ribuan bahkan jutaan ikan ipung di laut yang akan menuju ke mata air di pegunungan. Kemunculan ikan ipung  ini biasanya ditandai dengan suara dentuman dan getaran yang bisa didengar dan dirasakan oleh masyarakat sekitar  pantai, kemunculan ikan ipung ini biasanya terjadi malam hari dan pagi hari.

Saat terdengar dentuman, ikan ipung mulai muncul dari laut bergerombol membentuk formasi seperti bentuk ikan  raksasa yang bergerak menuju muara sungai, saat sampai di muara sungai jutaan ikan ipung tersebut berpencar memisahkan diri, sebagian masih bergerombol disekitar muara sungai dan sebagian lagi bergerak ke atas menentang arus sungai menuju ke mata air di pegunungan.

Kemunculan jutaan ikan ipung di muara sungai menjadi  ajang ‘panen’ ikan bagi masyarakat di Desa Reroroja, Magepanda dan Done, mulai dari anak-anak, tua muda, laki perempuan tumpah ruah berlomba-lomba mengambil ikan ipung  menggunakan jaring, ember dan gayung, sangat meriah.

Ikan ipung yang diambil, biasanya mereka jual dan sebagain lagi untuk dimakan. Nah khusus untuk dimakan, masyarakat di tiga desa ini mempunyai menu special yang dibuat dari ikan ipung, namanya Woi (bahasa Sikka) atau Sobe dalam bahasa Suku Lio. Menu ini sangat unik dan cara membuatnya pun sangat sederhana, Woi atau Sobe adalah sejenis sambal yang bahan dasarnya adalah ikan ipung segar.

Cara membuatnya: Ikan ipung yang masih segar dan baru diambil dicuci bersih kemudian dikasih garam, dicampur dengan daun kemangi, bawang merah diiris tipis, cabe dan perasan lemon atau jeruk nipis, semua bahan tersebut dicampur kemudian dimasukan kedalam potongan bambu dan ditutup sangat rapat, bisa juga  dimasukan kedalam botol.

Setelah dimasukkan kedalam bambu atau botol, sambal tersebut tidak langsung dimakan tetapi disimpan selama 2 minggu atau lebih,  setelah dua minggu Woi atau Sobe bisa dinikmati. Rasanya bsangat khas, segar dan sedap, baunya khas daun kemangi. Sambal woi sangat nikmat dimakan dengan pisang rebus, jagung goreng, ubi, dan ikan bakar, menu tersebut akan sempurna apabila ditambah dengan minuman tradisional Sikka yakni moke, dijamin ketagihan.

Kembali ke proses penentuan pergantian musim, setelah di muara sungai jutan ikan ipung tersebut sebagian bergerak ke atas menerjang arus sungai. Untuk menghindari arus sungai yang deras biasanya ikan ipung akan menempel pada batu-batu kemudian akan merayap perlahan menuju ke arah mata air, sangat unik!

Saat dalam perjalanan menuju mata air, masyarakat disepanjang sungai juga mengambil ikan ipung tersebut untuk dikonsumsi. Setelah ikan ipung sampai di kawasan mata air, ikan ipung akan menetap di sekitar  mata air yang berbentuk kolam. uniknya lagi ikan ipung yang sudah sampai dikawasan mata air akan berubah warna  menjadi hitam yang sebelumnya berwarna putih.

Setelah menetap sekitar satu minggu di kawasan mata air, dipastikan akan terjadi hujan besar  dan sangat deras (beberapa kali menyebabkan banjir). Nah ikan ipung yang sudah berada dikawasan mata air kemudian akan kembali ke laut mengikuti arus sungai yang sangat deras. Saat ikan ipung sampai di laut hujan pun  akan berhenti. Berhentinya hujan tersebut dijadikan patokan bahwa musim hujan sudah berakhir, dan musim kemarau telah tiba.

Kemunculan ikan ipung tidak bisa diprediksi setiap tahunnya, ikan ipung bisa muncul di bulan Februari akhir, awal Maret bisa juga bulan April. Penentuan datangnya pergantian musim dengan menggunakan ikan ipung juga dipraktekkan masyarakat setempat untuk kegiatan pertanian. Kearifan lokal tersebut sudah teruji sejak ratusan tahun yang lalu dan masih dipergunakan sampai sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline