Sigmund Freud,seorang pakar psikoanalisa,dalam teoremanya mengatakan bahwa bahwa elemen esensial dalam jiwa manusia adalah EGO dan LIBIDO. Terlepas dari konsekuensi yang timbul dari teorema Freud, terlepas pula dari segala debat pro kontra pernyataan Sigmund Freud,agaknya sex memang senantiasa hadir dalam riap relung kehidupan manusia.Dalam bentuknya yang paling masiv,sex sering dipadankan dengan cinta.Meski jelas amat absurd jika disebut bahwa sex identik dengan cinta.Sex sevagai manifestasi rasa cinta,memang memiliki suatu keabsahan.Namun sex juga memiliki dimensi lain yang malah sangat bertentangan dengan konsepsi dan rasa tentang cinta.
Sex ternyata mengalami pula perkembangan. Dalam arti pemaknaan, tata nilai, permisivitas dan juga keterlibatannya dalam gaya hidup seseorang/Hal ini nampaknya membawa pula konsekuensi.Yakni sex semakin lekat dengan jiwa. Sex tak dapat dipisahkan dari eksistensi rasa dalam jiwa. Jadi jelas malahan sex adalah suplemen hakiki dari jiwa itu sendiri.
Sebagai suplemen hakiki dan malah esential dari jiwa,sudah tentu sex dituntut untuk memuaskan rasa yang terkandung atau dikandung dalam jiwa. Dan celakanya,rasa dalam jiwa dapat berwujud manifestasi yang normal. namun juga dapat berwujud sesuatu fenomena yang patologis. Jika jiwa dalam keadaan potologis sudah tentu menuntut suplementasi sex secara patologis pula. Orang kemudian mengenal penyimpangan sex, kelainan sex dan sexual pathology.
Orang sering rancu membedakan antara penyimpangan sex, kelainan sex dan sex yang "sakit" Jika suatu saat seseorang terpuaskan dengan mengintip tetangganya yang mandi, ini dinamakan penyimpangan sexual.Namun jika kepuasan dari mengintip orang mandi tersebut berkelanjutan dan terus menerus,dia sudah menderita kelainan sexual.Sex yang patologis bentuknya adalah sebuah manisfestasi sakit jiwa.Misalnya kegemnaran menyetubuhi mayat. Ada penyimpangan dan kelainan di satu sisi.Dan ada sex patologik di sisi yang lain.Kesemuanya merupakan untai dinamika dari keberadaan sex dalam tatanan kultur dan gaya hidup manusia.
Diantara sekian banyak penyimpangan sex yang dikenal orang,salah satunya adalah penyimpangan sex dalam bentuk SEXUAL ROLE PLAY.Penyimpangan semacam ini umumnya dialami laki-laki.Faktor psikis dari maskulinitas dan dominasi agaknya berperan besar dalam timbulnya jenis penyimpangan semacam ini.Perilaku pada penyimpangan ini adalah kenikmatan sexual yang diperoleh saat pasangan memainkan peran (role play) sebagai sosok tertentu.Sosok tersebut bisa merupakan tiruan perilaku atau acting,pose dan dandanan artis tertentu.Dapat pula si pasangan diminta berperan dalam profesi tertentu.Misalnya biarawati,guru,ataupun pekerja sex komersial.Fokus dan lokus kenikmatan sexual pada penyimpangan ini,berada pada kadar sensasinya.Misalnya ketika pelaku penyimpangan ini meminta pasangannya menjadi biarawati.Yang diharapkan adalah sebuah sensasi.Bagaimana sosok biarawati yang suci dan alim tiba-tiba harus berceloteh dengan sangat vulgar,porno dan bahkan jorok.Atau jika sosok dalam role play adalah seorang pekerja sex komersial.Sensasinya adalah bentuk rangsangan yang cenderung ekstrem.
Terlepas dari pandangan religi dan nilai religius serta kadar religiusitas seseorang,bentuk penyimpangan sedemikian tentulah masih dapat ditolerir SEJAUH SI PASANGAN TAK BERKEBERATAN.Persoalan akan muncul jika si pasangan sangat merasa terganggu dengan penyimpangan semacam ini. Penyimpangan sexuil berupa perilaku sexual role play,memiliki episoda yang hampir mirip dengan beberapa penyimpangan sexual lainnya.Yakni membutuhkan stimulus.Dan stimulus yang paling sensasional agaknya adalah musik.Dalam keadaan demikian alunan musik memiliki dua peran.
- Sebagai stimulus aktif
- Sebagai profilaksis dan penolakan
Sebagai stimulus aktif adalah jika musik diposisikan sebagai ilustrasi dan stimulus dalam role play itu sendiri. Misalnya kita memutar Fuga dalam D minor untuk organ karya Johann Sebastian Bach.Kemudian kita minta si perempuan memainkan peran sebagai biarawati.Sambil menyingkap jubahnya dan menggelontorkan ocehan jorok bak perempuan yang sangat bernapsu untuk disetubuhi.Suasana ini tentu saja memiliki efek dramaturgis dan jelas akan "mensukseskan" sensasi role play.
Musik juga bisa difungsikan sebagai media profilaksis atau penangkal. Dalam hal ini saat libido menggelegak dan khayal mulai mengembara untuk menyusun script role play, putar musik yang tanpa transient. Misalnya degung atau gamelan Jawa. Ritmis yang tenang dan pola yang cenderung repetitif, akan membawa khayal kembali pada jati dirinya.