Lihat ke Halaman Asli

Obah Sehat (3)

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ngaji Laku di Jalur Tanjakan


Tak disadari, ternyata nggowes telah memberikan pelajaran dan laku hidup yang amat berharga buat saya. Apa itu?
Ketika dua kali melewati jalur tanjakan dan turunan di dua jembatan tol tiap kali nggowes, saya sempat tergelitik untuk ngaji laku dan mencari hikmah di baliknya. Naluri kemanusiaan saya pun merasakan betapa berat saat mengayuh sepeda di jalur yang kebetulan menanjak. Sebaliknya, saya merasa enteng dan lega ketika melampaui tanjakan, lalu mendatar dan (apalagi) memasuki ruas jalan yang menurun.
Saya sempatkan berhenti sejenak. Merenung. Lalu mencari hikmah di balik dua model perjalanan yang bertolak belakang itu: tanjakan dan turunan. Dan, akhirnya saya pun menemukan jawaban dan menyimpulkan, bahwa hidup yang ideal dan normal atau lumrah itu adalah di jalur datar, bukan saat berada di tanjakan atau turunan.
Karena itu, tak sepatutnya kita mengeluh berat ketika melalui jalur tanjakan. Sebab, di setiap tanjakan pasti ada turunan dan pada akhirnya akan mendatar lagi. Sebaliknya, kita tidak perlu merasa terlalu menganggap enteng ketika melaju di jalan yang menurun, karena pasti ada ujungnya dan bertemu kembali dengan jalur mendatar dan bisa jadi akan bertemu lagi dengan tanjakan.
Boleh jadi di jalur mendatar itu terdapat ruas jalan yang rusak, berlobang, genangan air, atau apa pun yang membuat perjalanan bisa terganggu, itu persoalan lain. Namun yang pasti, jalur mendatar itulah jalur yang semestinya dan jarak tempunya pasti lebih panjang dan lebih lama ketimbang tanjakan atau turunan.
Dengan kata lain, jalur kehidupan yang sesungguhnya sejatinya bukan saat kita berada di tanjakan (mendaki) atau turunan. Kita merasa berat dan harus mengeluarkan energi atau tenaga lebih besar saat menanjak karena karena ada faktor x, yakni kondisi jalan yang tidak lumrah, yakni tanjakan. Demikian juga sebaliknya, kita merasa enteng dan tidak perlu mengeluarkan energi relatif banyak –bahkan seakan kelebihan energi karena tanpa menggenjot pedal pun sepeda bisa melaju dengan cepat—karena juga ada faktor x, yakni kondisi jalan yang menurun.
Dalam perspektif laku kehidupan, tanjakan bisa berarti tantangan yang harus direspon dengan mengeluarkan energi ekstra kalau kita ingin roda kehidupan bisa tetap menggelinding dan membawa kita dalam perjalanan yang kita inginkan. Begitu pula jalan yang menurun berarti kemudahan yang bisa membantu kita melaju dengan cepat tanpa harus susah-susah mengeluarkan tenanga.
Namun yang perlu disadari, keduanya, baik jalur tanjakan maupun turunan merupakan ujian atau cobaan bagi pelakunya. Dalam banyak hal, biasanya ujian diidentikkan dengan situasi atau kondisi yang berat, tak mengenakkan, dan tak diinginkan. Padahal, jalur turunan yang identik dengan situasi dan kondisi yang mengenakkan, serba mudah dan berkecukupan, juga merupakan ujian atau cobaan dari Sang Maha Pencipta, Alloh SWT.
Dan, sebagai umat beragama Islam, sekali-kali jangan mengaku beriman tanpa terlebih dahulu mendapat ujian atau cobaan, baik yang menyusahkan atau yang menyenangkan. Karena itu, ketika kita berada dalam posisi yang tidak mengenakkan karena didera ujian yang bertubi-tubi, tidak sepatutnya bersedih atau putus asa sehingga membuat tata laku kita tidak produktif. Sebaliknya, kita juga jangan jumawah dan lengah ketika mendapat ujian yang serba menyenangkan atau berkecukupan.
Saya jadi ingat pesan bapak saya, Supadar (alm), yang 3 Juni 2013 lalu pulang ke rumah Barzah memenuhi panggilan Yang Mahakuasa dan penentu segala kehidupan. Ketika itu, tahun 1980 saya hendak lulus SD dan bersiap memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni SMP. Di kursi ruang tamu rumah kami di Dusun Sidoawaras, Desa Lebaniwaras, Kec. Wringinanom, Kab. Gresik, kami duduk berdampingan. Seperti memberikan pembekalan dan wejangan, Bapak berujar:
Nak, urip iku kaya roda sing muter (Nak, hidup itu seperti roda yang berputar). Kadang posisinya di atas, kadang di bawah. Mulo (maka), jangan sedih kalau kamu pas di bawah. Juga jangan terlalu gembira hingga membuatmu lengah ketika berada di atas,” ujarnya.
Pesan ini hingga kini masih kuat terpatri di hati dan pikiran saya meski telah 34 tahun berlalu. Pesan ini pula yang membentengi saya untuk bijak dalam menyikapi kehidupan dengan beragam kompleksitasnya. Masih kata Bapak, toh tidak ada yang langgeng di dunia ini. Susah dan senang, sedih dan gembira, rugi dan untung, sakit dan sehat, juga bahagia atau sebaliknya pasti ada batasnya.
Karena itu, sudah sepatutnya semuanya dilakoni dengan sabar dan ikhlas. Kita bimbing hati dan pikiran kita untuk bisa sabar dan ikhlas dalam menerima garis hidup yang ditentukan Alloh SWT. Meski demikian, ihtiar untuk meraih sesuatu yang lebih baik dan bermartabat merupakan keniscayaan yang mesti kita lakukan sebagai konsekuensi atas karunia besar yang kita terima, yakni hati dan pikiran.

Kebomas, Jumat, 21 Februari 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline