Lihat ke Halaman Asli

Mensyukuri Nikmatnya Sakit

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah, sejak Sabtu (24/5/2014) Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Penyayang, memberikan kenikmatan yang luar biasa kepada saya. Melengkapi aktivitas rutin sebagai kepala keluarga yang mesti ihtiar untuk mengais nafkah, Allah memberikan kesempatan lebih kepada saya untuk memperbanyak zikir, minimal bilqolbi wallisan. Sebuah laku ilahiyah untuk makin mendekatkan diri kepada-Nya. Sebuah laku ilahiyah untuk muhasabah atas segala amaliyah dan ibadah, baik yang teraplikasi lewat gerak hati, pikiran, sikap, maupun tindakan fisik selama ini. Sebuah laku ilahiyah untuk berbenah diri menuju kondisi yang lebih baik. Sungguh, ini kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.


Atas kehendak Allah, Tuhan yang di tangan-Nya tergenggam kuasa tak terhingga, saya diberi karunia berupa sakit di bagian pinggang. Sejak, Sabtu pagi kemarin, pinggang saya terasa nyeri. Tambah lama rasa nyeri itu makin menjadi-jadi, hingga bagian tubuh ini susah digerakkan. Bisanya hanya nggeletak di atas kasur. Kalau sudah ambil posisi terlentang, sulit berganti ke posisi lain, semisal miring, apalagi duduk atau berdiri. Demikian juga sebaliknya. Subhanalloh.

Saya mencoba khusnudlon atas apa yang Tuhan takdirkan kepada saya. Saya yakin, ada skenario terindah yang Tuhan rancang buat saya. Karena itu, buat saya, ini kesempatan memperbanyak laku batin sebagai penyeimbang atas dominasi laku lahir (fisik) dalam keseharian, baik untuk urusan pekerjaan di kantor, di rumah, dalam sejumlah komunitas sosial dan forum-forum silaturrahim yang praktis menguasai diri saya. Saatnya mengistirahatkan raga yang telah banyak terforsir.

Maka, kalimah-kalimah toyyibah pun meluncur dengan derasnya. Sambil menahan rasa nyeri di pinggang dan mencoba mengalihkan rasa itu sebagai sesuatu yang layak dinikmati dan memang bisa dinikmati, rajutan mutiara istighfar, tasbih, tahlil, takbir, tahmid, dan varian zikir lainnya dengan enteng menyembul di lisan dan gerak hati. Putaran rangakaian tasbeh sebagai media peraga juga bergerak otomatis mengikuti pilinan jemari. Sesekali ayat-ayat al Quran yang saya hafal juga meluncur dari bibir ini.

Praktis, seharian kemarin raga yang nista ini tergolek di atas kasur. Saya mencoba menikmati apa yang tengah menimpa pinggang saya seraya berdzikir kepada-Nya. Rasa nyeri yang menyergap coba saya nikmati dengan mengalihkan persepsi ke pikiran, bahwa nyeri itu bukan sesuatu yang menyiksa dan mesti dikeluhi. Tetapi, pikiran saya harus bisa memersepsikan, bahwa apa yang menyerang pinggang itu sesuatu yang positif dan bisa dinikmati, seperti ketika kita tengah melahap makanan yang lezat.

Ihtiar Medis
Selepas salat Isyak yang hanya bisa saya tempuh dengan berbaring (ngleyeh), saya lakukan ihtiar medis. Ini upaya lumrah yang mesti saya lakukan untuk mengakhiri rasa nyeri dan membuat tubuh bisa bergerak leluasa. Dengan menahan sakit, ditemani istri dan si bungsu Alya Nur Mufidah, saya menuju Klinik Kamilah di perum GKGA Gresik yang cuma berjarak sekitar 100 meter dari rumah kami. Setelah mendaftar di bagian administrasi, saya dipersilakan menuju ruang dokter. Begitu tangan kanan saya mengetuk pintu dan membukanya, senyum manis tersembul dari perempuan muda nan cantik untuk menyambut kedatangan kami. Dialah dokter muda usia (saya prediksi usianya belum genap 30 tahun) yang akan melayani saya.

Perbincangan yang mengarah ke diagnosis pun berlangsung. Setelah saya tanya apa kira-kira penyebabnya, dia mengatakan, besar kemungkinan rasa nyeri yang menyergap pinggang saya karena posisi duduk atau tidur yang salah. Bisa juga karena kekurangan minum air putih. Sang dokter muda berjilbab ini pun meminta saya berbaring di tempat tidur di ruang berukuran 2,5 x 3 meter ini. Ia gerak-gerakkan kedua kaki saya secara bergantian dengan menanya, "Sakit, Pak?"

Setelah saya jawab, "Tidak, Dok," dia terus melakukan improvisasi dengan menggerakkan kaki saya dengan varian gerakan yang berbeda. Hingga suatu saat, dengan bibir setengah nengatup, saya memekik, "Sakiiiit, Dok!" Dia mengulang gerakan yang membuat saya kesakitan sebelum akhirnya menghentikannya. Setelah sesi ini berakhir, saya bangkit meski dengan susah paya dan kembali duduk di kursi, berhadapan dengan dokter yang tutur katanya selalu terdengar lembut ini.

Setelah menulis dan menyerahkan resep, dia berpesan, setiap malam menjelang tidur, saya diminta mengompres punggung (dibagian pinggang) dengan air hangat. Selain itu, saya diminta terapi setiap bangun tidur, ketika belum melakukan aktivitas apa pun. Terapi itu berupa: melipat kaki kanan ke arah perut sampai teras sakit, bergantian dengan kaki kiri. Masing-masing 10 detik. Kemudian, hal yang sama dilakukan untuk kedua kaki secara bersamaan dengan durasi yang sama.

Seperti pesan sang dokter, menjelang tidur, istri mengompres pinggang saya dengan air hangat. Ketika bangun tidur, aktivitas pertama yang saya lakukan adalah terapi lipat kaki ke perut. Pagi hari saat bangun, Alhamdulillah pinggang mulai bisa digerakkan meski rasa nyeri belum hilang. Saya coba angkat pantat dalam posisi tetap berbaring. Berhasil, meski hanya beberapa sentimeter. Suatu perkembangan positif  yang tidak kuasa saya lakukan sebelumnya.

Hari ini, saya merasakan ada progres makin membaik yang saya rasakan. Semoga terus membaik dan mengembalikan kondisi pinggang ini seperti sedia kala. Saya tetap yakin, Allah tetap pada skenario terbaiknya untuk saya. Karena itu, saya tetap khusnudlon dan siap melakoni babak demi babak drama kehidupan yang Dia siapkan untuk saya. (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline