Lihat ke Halaman Asli

Facebook, Kopi, dan Pisang Goreng

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak ada yang melarang mengkonsumsi facebook sekalian dengan kopi dan pisang goreng, apa pun latar belakang budayanya. Tidak ada juga yang mewajibkan berkomunikasi dengan facebook sambil menyeruput kopi dan mengigit pisang goreng yang dibalut adonan terigu. Siapa saja boleh, dan kenikmatannya bukan terletak pada rasa, melainkan kesan.

Jika dengan facebook kita terhubung dengan ratusan bahkan ribuan orang di dunia maya yang beragam budaya, maka dengan kopi kita tetapp didekatkan dengan semangat eksistensi seorang pribadi dengan sebbuah system karakteristik, dan dengan pisang goreng, alamak tidak ada yang menyaingi romantika budaya seperti ini, pisang goreng, tidakkah kita teringat halaman di kampung sana?

Jika dengan Facebook kita digoda untuk menjadi apa saja dalam dunia virtual, maka dengan kopi, kita tetap menapak di atas tanah, menerawang jutaan hektar kebun kopi yang tersebar sepanjang nusantara, dari timur ke barat. Pisang goreng? Asalkan saja buah pisang tidak serasal dari sebuah pohon yang memiliki dua ruas daun (kiri dan kanan) yang mengapit sebuah pucuk. Kita nikmati saja bagaimana setiap perasaan masing-masing menilai pissang goreng.

Dengan facebook, kita diracuni candu komunikasi, dimana narsisme terlantar begitu saja, tidak ada lagi yang memperhatikan citra selama kata “saya masih ada kan?” terus eksis dalam benak facebooker. Dan dengan kopi, kesendirian, kesunyian dan lamunan pribadi melayang begitu saja, menikmati individualism yang mengakar. Jarang memang kita memperhatikan bagaimana facebooker berkomunikasi dengan sajian kopi di sebelah laptop atau PC nya. Namun yang jelas, semoga kopi tidak menjadikan kita lupa bahwa kita masih tetap memiliki ruang pribadi diantara godaan “penghalusan diri” dalam dunia maya.

Dan pisang goreng? Tentu tidak lepas dari sebuah identitas budaya. Maka fikirkanlah, bahwa betapa menyakitkannya jika kita mendengar ada seorang anak bangsa yang tidak pernah menikmati pisang goreng. Dari kampung dia dating ke kota, tetap menjadi makanan orang kampung, tetap menjadi symbol eksistensi orang kampung, tidak seperti laiknya kopi, berasal dari kampung dan merubah diri menjadi barang necis yang pragmatis. Pejabat atau anak muda sok keren pun menikmatinya, tanpa tahu bagaimana bentuk daun kopi.

Baca lebih lengkap disini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline