Ditulis Oleh: Lucy Pujasari Supratman
Di tengah pematerian saya mengajar hari ini, pintu kelas di ketuk oleh beberapa mahasiswa. Mereka adalah perwakilan mahasiswa yang meminta izin mengumumkan kabar dukacita. Dua orang mahasiswa yang berusia sekitar 20 dan 21-an telah meninggal. Lalu saya meminta untuk mengheningkan cipta sesaat mendoakan mereka yang sudah tiada, walau kami semua tidak terlalu mengenal almarhumah. Tapi semoga saja do'a tulus kami dapat menguatkan keluarga yang ditinggalkan.
Rasanya saya semakin memaknai hidup di dunia fana ini. Apalagi setelah di bulan Februari 2012 kemarin, seorang anak didik les yang berusia 5,5 tahun meninggal karena demam berdarah. Jihan namanya. Anak mungil yang cantik, tapi Allah menjemput Jihan kecil saat dia mengenakan piyama kelinci sambil mendekap kaleng pocari sweat di bangsal rumah sakit. Ia memiliki kebiasaan unik, mendekap kaleng pocari sweat setiap kali tidur malam layaknya sebuah boneka. Jihan terbaring kaku, kaki tangannya yang mungil membeku, beserta darah kering yang masih menempel di lubang hidungnya.
Selang beberapa hari, berita kembali terdengar dari seorang kerabat yang mengalami kecelakaan hingga akhirnya merenggut nyawanya di usa 19 tahun. Seorang gadis belia yang sangat disukai teman-temannya harus meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
Sebenarnya apa makna manusia hidup di dunia? Sebab 24 jam kita mengalami ritual yang serupa. Tidur, bangun untuk beraktifitas, makan, beribadat, bersosialisi dan tidur kembali. Terkadang juga kita kehilangan makna kita hidup. Hmm..Saya hanya bisa menjawab dengan sederhana, yaitu mencari Ridha Allah melalui Habluminanas dan Habluminallah. Hubungan manusia dengan manusia, kemudian manusia kepada tuhan. Tantangan terberat memang berhubungan dengan manusia sebagai para khafilah di bumi. Saya tahu, menjalin relasi dengan sesama manusia membutuhkan simpati, empati dan rasa ikhlas memaafkan. Nilai itulah yang akan meningkatkan keimanan kita di mata tuhan. Allah itu maha pemberi dan maha pemaaf, maka sebagai hamba ciptaannya, berjiwa besar untuk memaafkan dengan ikhlas sepenuhnya telah mempossikan diri kita berada di tingkatan para sufi. Saat seseorang memaafkan dan dimaafkan, perjalanan ruh akan lebih ringan tanpa ada beban dosa yang memberatkannya.
Tahun kemarin, saya memandikan jenazah almarhumah nenek. Usianya 72 tahun. Ya Allah, sekujur tubuhnya begitu kaku dan keras. Rambutnya memutih, serta kotorannya saya bersihkan dari dubur beliau. Saya menangis saat mengguyur almarhum nenek dengan beberapa gayung air yang dicampur lilin cair. Saya benar-benar harus berpisah dengan almarhum Selama-Selamanya. Tidak akan lagi bisa mendengar suaranya meminta saya menyuapi makanan, mimik muka tersenyumnya yang senang bila kami sekeluarga mengunjungi, atau melihat nenek tertidur pulas sambil sedikit mendengkur. Allah sudah menentukan waktu terakhir untuk nenek di dunia ini. Waktunya untuk menutup buku hidup.
Itu berarti tugas manusia telah selesai dan wujud fisik kembali menjadi tanah, ruh kembali pada Sang Pencipta, ditambah amalan di dunia yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Tiada harta, tahta, kuasa atau appaun terbawa di yaumul akhir, alam yang abadi. Hanyalah 3 amalan yang tidak akan berhenti mengalir, yaitu doa anak shaleh yang tulus, ilmu yang diamalkan, serta rezeki yang disedekahkan.
Saya sambil mendengar lagu Ronan Keating yang berjudul "If Tomorrow Never Comes (Jika Saja Esok itu Tiada) saat saya menulis tulisan ini. Liriknya menyentuh, menyentak nurani
Beberapa penggalan yang begitu saya selami ada di baris berikut:
"Sometimes late at night
I lie awake and watch you sleeping".. Penggalan pertama lirik 'If Tomorrow Never Comes'
"And if my time on earth were through"..
Is the love I gave him in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes".. Penggalan dipertengahan lirik 'If Tomorrow Never Comes'