Lihat ke Halaman Asli

Di Balik Jendela

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengingatnya. Seraut wajah kecil, menyeringai di balik jendela dengan sepasang mata yang menatapku dengan tajam. Kedua telapak tangannya yang mungil menempel di kaca jendela, sesekali sepasang bola matanya melirik seolah mengawasi seisi ruangan di mana aku duduk pada salah satu kursi tamu, sendirian. Aku dapat melihatnya dengan jelas, bocah bertelanjang dada yang menatapku dari balik jendela.

Waktu itu selepas maghrib. Lampu sudah dinyalakan dan langit mulai gelap. Aku maju selangkah, bocah lelaki di balik kaca jendela itu tak beranjak. Ia masih saja mengawasiku dengan sepasang bola matanya yang bulat, aku tak mengenali siapa bocah lelaki itu sesungguhnya, seingatku di antara anak-anak seusiaku yang tinggal di perumahan di mana kami tinggal tak ada wajahnya yang menyerupai bocah yang menatapku di balik jendela.

Lagian, anak mana yang masih diizinkan kedua orangtuanya keluyuran ke rumah orang selepas maghrib seperti saat ini? Bukankah pada malam hari bukan waktunya anak-anak kecil seusia kami untuk bermain? Batinku bertanya-tanya. Aku tak mengalihkan pandanganku sedikitpun. Aku maju satu langkah lagi, kulihat bocah itu menatapku dengan tajam. Aku merasakan dia mulai takut saat melihatku makin mendekat ke arah jendela.

“Siapa kau?” tanyaku pelan.

Bocah lelaki itu menyeringai menampakkan giginya yang runcing. Aku terkejut dan seketika berteriak ketakutan seraya memanggil ibuku yang baru saja selesai sholat maghrib.

“Ibu!” panggilku panik.

Ibu muncul dari dalam kamar, bergegas menuju ruang tamu masih mengenakan mukenanya. “Ada apa?” tanyanya heran.

Aku tak menjawab. Aku hanya menunjuk ke arah jendela dengan mimik takut. Saat aku kembali melihat ke arah jendela baru kusadari bocah misterius yang usianya sebaya denganku tersebut sudah tak ada lagi disitu. Raib entah kemana.

“Ada seseorang disitu,” sahutku terbata, ketakutan.

Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ia menyadari lupa menutup gorden jendela. Beliau lalu menarik tirai jendela dan mengajakku menyiapkan makan malam. Sesekali aku masih menoleh ke arah jendela, tapi bocah misterius itu tetap tak kelihatan lagi. Mungkin ia sudah pulang ke rumahnya takut kena marah kedua orangtuanya, karena masih bermain di luar malam-malam begini, pikirku menduga-duga,

***

Aku masih penasaran. Siapa bocah lelaki itu sesungguhnya. Aku ingat betul dengan wajahnya yang bulat, sepasang bola mata jenaka dan rambutnya yang tebal, yang tak kusuka dari bocah itu hanyalah giginya yang runcing. Bagiku itu cukup menakutkan. Aku memandangi wajahku sendiri di depan cermin lemari kamar. Aku menyeringai memperhatikan gigi-gigiku sendiri, kecil-kecil dan ompong di bagian atas sebelah kanan. Kata ibu, itu karena aku terlalu banyak makan permen, makanya gigiku jadi ompong.

Sebentar lagi maghrib menjelang. Aku lalu menuju ruang tamu, kali ini aku coba memberanikan diri duduk di dekat jendela dan menatap keluar halaman. Langit mulai remang-remang dan suasana mulai senyap. Aku berharap bocah misterius itu datang lagi, bermain ke rumahku agar aku punya teman. Sejujurnya aku merasakan kesepian, tak ada teman bermain, kakak-kakakku lebih suka menyibukkan diri mereka sendiri dengan buku-buku.

Azan maghrib baru saja usai berkumandang, terbawa angin lalu senyap. Langit yang tadinya berserakan dengan semburat jingga kini mulai gelap gulita. Lampu-lampu teras di rumah-rumah tetangga sudah menyala. Aku menunggu dengan tegang. Kemana bocah itu? Kenapa belum muncul juga? Tanyaku dalam hati sembari mengawasi halaman rumah kami kalau-kalau iaada di sekitar situ.

Itu dia! Teriakku dalam hati. Bocah itu, ia berdiri di dekat batang pohon akasia yang tumbuh di depan rumahku. Sama seperti kemarin saat aku pertama melihatnya, bocah itu tak mengenakan baju, hanya celana cawat putih yang menutupi pinggangnya hingga sebatas paha. Rambutnya tebal dan tangannya kulihat melambai ke arahku. Aku membalas lambaiannya.

Dari gerak tubuhnya, aku yakin ia hendak mengajakku bermain. Ia menyeringai. Aku membuka pintu perlahan lalu melangkah keluar. Ia melonjak-lonjak lalu berlari-lari mengitari halaman rumahku dengan gesit. Aku mengikutinya mengitari pohon akasia, kami berkejar-kejaran. Terkadang ia menghilang, saat aku kebingungan mencarinya, tahu-tahu ia sudah muncul dihadapanku, mengagetkanku sambil tertawa-tawa aneh.

“Aku ingin engkau menjadi temanku,” kataku sembari memberanikan diri mengulurkan tangan ke arahnya. Ia tampak ragu dan takut-takut. Aku tersenyum padanya.

“Jangan takut, aku tak akan menyakitiku, ayo kuajak kau kerumah, kuperkenalkan pada ibuku,” ajakku padanya.

Bocah itu lalu menyentuh jemariku. Kurasakan jemarinya yang teramat dingin dan kaku. “Nah kita sekarang sudah berteman,” kataku senang. Aku ingat sesuatu, hari sudah semakin gelap, tanpa sadar, aku sudah berada di halaman rumah terlalu lama. Aku harus segera masuk, sebab ibu pasti akan marah bila menyadari aku masih bermain-main di luar rumah. Aku bergegas menuju pintu.

“Aku harus pulang sekarang, besok kita bisa bermain lagi,”

Bocah itu menyeringai lalu melambai padaku. Tatap matanya sayu seakan sedih melihatku meninggalkannya sendirian di halaman rumah kami yang gelap. “Aku harus pulang, jika kau mau ayo ikut masuk. Kita makan malam bersama,” tawarku padanya.

Bocah misterius itu tak menjawab. Lalu tubuhnya menghilang tiba-tiba. Bulu kudukku mendadak merinding, aku bergegas menuju pintu. Pintu terkunci! Kugedor-gedor pintu sembari memanggil-manggil ibu untuk membukakan pintu. Aku mulai ketakutan apalagi malam semakin meninggi. Kugedor-gedor kaca jendela sambil berteriak memanggil-manggil ibu, saudara-saudaraku tetapi tetap saja tak ada yang mendengarkanku. Aku menangis, panik dan takut bercampur menjadi satu. Sesungguhnya aku teramat takut dengan kegelapan dan membayangkan diri harus berada di luar rumah yang gelap gulita adalah sesuatu yang sangat menakutkan.

Aku beranjak menuju jendela ruang tamu yang gordennya masih terbuka. Aku dapat melihat ibu tengah menonton tv sembari berbincang-bincang dengan saudara-saudaraku. Mereka seakan tak menyadari aku masih di luar rumah, di balik jendela ruang tamu. Kugedor-gedor kaca jendela sambil menangis dan memanggil mereka sekuat mungkin tapi tetap saja tak ada yang mendengar. Di salah satu kursi di depan tv, aku melihat bocah aneh yang tadi mengajakku bermain di halaman duduk disitu di pangkuan ibu. Ia menoleh ke arahku, menyeringai.

Kulihat ibu berjalan menuju jendela dimana aku tengah menempelkan wajahku dikacanya sembari berteriak-teriak memanggilnya. Ibu seakan tak mendengarku bahkan seakan tak melihatku di balik jendela. Ia menutup gorden hingga aku tak dapat melihat lagi ke dalam rumah.

Di teras rumah, di depan kaca jendela, aku menangis sejadi-jadinya tanpa ada yang tahu sementara malam semakin larut.

Palembang, 29 September 2013.

TAMAT




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline