Lihat ke Halaman Asli

Garuda di Dadaku

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Iqbal temanku mengirim pesan singkat berupa sms ke handphoneku, “Keberangkatan menuju Bangka kita tunda dulu hingga selesai final sepakbola Sea Games.” Begitu bunyi pesannya. Aku sepakat, karena aku pun tak mau melewatkan pertandingan final kali ini. Beberapa hari terakhir seluruh rakyat Indonesia memang tengah dilanda eufhoria atas keberhasilan Garuda muda membantai tim  Kamboja enam kosong tanpa balas. Harapan untuk meraih medali emas diajang sepakbola membumbung tinggi usai rakyat pencinta timnas Indonesia di rundung duka karena timnas senior menjadi bulan-bulanan lawan di ajang pra Piala Dunia 2014.

Selama penyisihan Timnas junior U-23 sukses melibas semua lawan-lawannya dengan permainan memikat dan menghibur. Kamboja dicukur 6-0, Singapura dan Thailand bernasib serupa, terakhir Indonesia kalah 1-0 melawan Malaysia dalam pertandingan yang tak lagi menentukan karena kedua tim dipastikan lolos ke semifinal. Aku tak pernah sekalipun melewatkan pertandingan tersebut yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun televise swasta. Maka seperti halnya jutaan rakyat Indonesia di segala penjuru nusantara akupun merasakan gairah yang sama. Gairah patriotisme yang meletup-letup tiap kali lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan sebelum pertandingan dimulai.

“Indonesia bisa! Indonesia bisa!” itu slogan yang kerap terdengar dalam beberapa bulan ini menjelang perhelatan akbar pesta olahraga terbesar di Asia Tenggara. Harapan untuk menjadi juara umum terbuka lebar karena Indonesia juga menjadi tuan rumah. Bukan apa-apa, dukungan langsung dari penonton tentu akan bisa mempengaruhi mental atlit-atlit Indonesia dalam berjuang memperebutkan medali emas.

Usai Timnas mengkandaskan perlawanan Vietnam di laga semifinal dengan skor 2-0, aku seperti halnya juga para pemain, official, pelatih, para pejabat PSSI, Pemerintah, jutaan penggila bola dari seluruh pelosok negeri menanti laga final dengan harapan setinggi langit dan keyakinan yang membludak bahwa kali ini Indonesia akan bisa membalas kekalahan satu kosong atas Harimau Malaya pada babak penyisihan beberapa hari yang lalu.

Bapak berulangkali bertanya padaku kapan laga final akan dilangsungkan. Kujawab hari senin tanggal 22 November jam tujuh malam. Bapak juga menyukai dan mencintai timnas Indonesia. Beliau rela melewatkan sinetron kesayangannnya Tutur Tinular hanya demi menyaksikan setiap laga pasukan Garuda muda. Maka pada hari senin sesuai jadwal yang telah ditentukan aku menanti dengan harap-harap cemas seakan-akan akulah pemain yang akan turun dilapangan nanti.

“Indonesia pasti juara kali ini, apalagi si Bambang Pamungkas tidak bermain. Bisanya apa, mencetak gol saja tak mampu. Bisanya hanya berlari-lari dilapangan.” Kritik bapakku bila mengingat aksi Timnas senior yang di gunduli Qatar di kandang sendiri. Aku hendak protes karena terang saja Bambang takkan bermain karena Sea Games kan hanya diperuntukkan pemain-pemain berusia dibawah 23 tahun. Bapak tak paham soal itu. emakku apalagi, pernah beliau bertanya padaku kenapa penjaga gawang berkepala botak yang beristrikan artis itu tidak diajak serta dalam Sea Games kali ini? Aku hanya diam tak menanggapi karena percuma menjelaskannya. Emakku juga tak mau tahu masalah itu. Inti dari pertanyaan mereka adalah mereka memang buta tentang sepakbola tapi teramat mencintai Timnas Indonesia sama sepertiku dan juga seluruh rakyat negeri ini meski timnas kerap kalah bila berhadapan dengan negara-negara lain.

Secangkir kopi telah mengepul-ngepul panas didepanku. Bapak duduk di kursi kesayangannya tepat didepan televisi. Mulut Komentator berbusa-busa mengulas aksi-aksi pemain Timnas selama penyisihan lengkap dengan preview gol-gol yang berhasil disarangkan Titus Bonai dan kawan-kawan ke jala lawan. Eufhoria kali ini benar-benar menggila. Sama persis ketika Timnas Senior melangkah ke final Piala AFF beberapa bulan yang lalu. Dari televisi terlihat puluhan ribu pendukung Timnas menjadi lautan merah dalam stadion Gelora Bung Karno. Yel-yel dan lagu Indonesia berkumandang dengan gegap gempita. Puasa gelar juara di ajang Sea Games akan tertuntaskan malam ini, dalam 2 x 45 menit kedepan. Aku yakin itu. Bahkan teramat yakin.

Akhirnya pertandingan yang kami tunggu-tunggu pun segera di langsungkan. Indonesia menggempur pertahanan Malaysia dengan gencar. Hingga menit ke tujuh berawal dari sepak pojok, defender jangkung Gunawan Dwi Cahyo berhasil menanduk bola ke jala gawang Harimau Malaya. Aku berteriak kegeringan. Begitu pula komentator di teleivisi dan seluruh penonton di stadion. “:Gooool!” teriakku sambil menciumi lambang Garuda di baju kaos replica Timnas Indonesia yang sengaja kupakai demi pertandingan final malam ini. Kulirik disebelahku bapak pun tersenyum bangga dan senang.

Mataku tak lepas menatap layar kaca. Dua-tiga batang rokok menjadi puntung di asbak tanpa terasa. Menjelang akhir babak pertama Malaysia berhasil membalas dengan sundulan menyusur tanah yang mengecoh dua bek dan kiper Kurnia Mega. Aku berseru kesal, memaki-maki keteledoran dua center bek yang gagal mengantisipasi gerakan pemain Malaysia bernomor punggung enam tersebut. Skor menjadi imbang satu-satu. Babak pertama usai. Hatiku jadi ketar-ketir. Kegagalan pada final Piala AFF yang lalu kembali terbayang. kala itu Timnas yang begitu di elu-elukan justru gagal juara karena kalah agregat melawan Malaysia dengan skor 4-2. Rakyat dan pencinta bola seantero negeri berduka.

Babak kedua pertandingan berjalan lebih ketat dan seru. Saling serang satu sama lain. Aku berulang kali menahan nafas, tegang dan khawatir berkecamuk dalam hati. Indonesia bisa, Indonesia bisa gumamku dalam hati. Bapak menengok jam dinding, telah pukul setengah sepuluh. Beliau pun gelisah karena Indonesia tak menunjukkan gejala-gejala akan mencetak gol kemenangan dalam pertandingan kali ini. Satu gol Tibo di anulir wasit padahal aku telah bersorak kegirangan. Offside menurut sang komentator. Penonton kecewa. Kopiku tinggal setengah dan dingin.

Setelah melewati 2 x 45 menit dan tambahan waktu 2 x 15 menit skor tetap juga imbang satu-satu. Maka untuk menentukan siapa pemenangnya akan di adakan adu tendangan penalty. Bapak lantas kecewa, karena beliau yakin Kurnia Mega tak sehebat Ferry Rotinsulu si Kiper Sriwijaya FC dalam duel satu lawan satu tendangan pinalti. Benar saja, empat penendang pemain Malaysia sukses menjadi eksekutor,. Sedangkan dua pemain Indonesia gagal menjadi penembak jitu, adalah si Ferdinand Sinaga dan sang pahlawan pencetak gol pertama Indonesia Gunawan Dwi Cahyo.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline