<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} p {mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0cm; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0cm; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:10.0pt; line-height:115%;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;}
Masalah agraria sepanjang zaman adalah masalah politik. siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan! siapa menguasai sarana kehidupan ia menguasai manusia!
24 september 1960 presiden soekarno menandatangani Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UU ini merupakan satu-satunya yang tersisa instrumen hukum yang berpihak kepada kepentingan rakdjat. dalam amanat UU ini pemerintah mempunyai kewenangan besar untuk mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai penjajah dan tuan tanah secara berlebihan.
segera saja, ribuan hektar tanah dibagikan secara merata kepada rakyat miskin, petani, nelayan dan masyarakat adat, terutama di pulau Jawa sebagai pilot project. selanjutnya, cita-cita UUPA ini adalah mendistribusikan tanah secara langsung kepada kaum papah secara nasional dari sabang sampai merauke.
sayang konstelasi politik pada tahun 60-an tidak berpihak pada Soekarno dan rezimnya, dengan campur tangan agen-agen asing Soekarno dinonaktifkan, dengan G-30 S PKI, gerakan dewan jendral dan lain-lain. yang akhirnya, beralih kepada Soeharto.
ketika itulah ruh dari UUPA hilang UU ini tidak dihapus, namun bermunculanlah UU pesanan asing. diantaranya UU pertambangan, UU penanaman modal dan UU tentang hutan. dimana ketiga UU ini pada prinsipnya melanggengkan investasi asing secara besar-besaran menguasai tanah nusantara. alhasil apa yang terjadi hingga hari ini? ribuan rakyat lapar, miskin tanpa tanah di rumah mereka sendiri.
Perlawanan masyarakat Bengkulu dengan PTPN VII yang telah merampas tanah mereka sejak 25 tahun yang lalu hingga mengantarkan 20 rakyat Bengkulu mendekam di jeruji besi, tewasnya ibu-ibu di Kuansing oleh Brimob, adalah contoh kecil konflik pertanahan.
Beberapa lembaga mencatat konflik pertanahan di nusantara ini terbilang tinggi saat ini mencapai 7 ribu kasus dengan pemenang terakhir mayoritas pengusaha kaya dan orang yang berduit. terdapat kasus pelanggaran HAM berat, sedang dan ringan. turunan dari konflik adalah kemiskinan yang menggurita ke segala sendi.
secara kuantitatif setidaknya 44 persen penduduk Indonesia adalah petani (SPI 2009) jumlah ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan tanah sebagai modal utama bagi petani sangatlah penting. fenomena ini semakin menggila ketika ribuan izin usaha perkebunan skala besar dan pertambangan diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah.
buruknya tata kelola dan niat baik terhadap pengaturan tanah untuk rakyat ini semakin menipiskan ruang hidup bagi 237 juta jiwa rakyat Indonesia. liahtlah Jakarta sebagai contoh bukan tempat yang baik lagi saat ini bagi ruang hidup rakyat. polusi, pencemaran, banjir, kemiskinan semakin menjadi.
memang tidak ada harapan yang baik jika kita menggantungkan pada pengelola negara ditengah tingginya kebebalan mereka pada kebenaran. sebagai rakyat tentunya kita juga mempunyai jalan keluar bagi masalah ini. pertama, pemerintah pusat dan daerah harus segera mengaktifkan badan otorita pertanahan. kedua, menjalankan amanat PP 11 tahun 2010 tentang tanah terlantar. ketiga, meolak RUU pengadaan tanah untuk pembangunan yang berpihak pada kepentingan investasi (kapitalis). ditambah dengan niat tulus untuk negeri, tanpa ini semua, yang terjadi adalah keniscayaan dan penzaliman!!!