Lihat ke Halaman Asli

Lailatul Qadar dalam Eksistensi Kebangsaan

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lailatul Qadar dalam Eksistensi Kebangsaan

Oleh Hery Susanto, MSi

* Direktur Eksekutif KomunaL/Magister Sains UI

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Bung Karno)

Sebangun dalam versi berbeda dengan ucapan Bung Karno tersebut adalah menjalankan ibadah puasa. Berbeda dengan ritual lain, puasa dikenal sebagai ibadah privat. Selain diri dan Tuhannya, tidak ada yang mengetahuinya. Berpuasa berarti melawan diri sendiri (hawa nafsu). Secara psikologis seperti kata Bung Karno, mengalahkan keinginan diri sendiri yang tidak terlihat lebih sulit daripada menundukkan orang lain. Inilah makna jihad besar yang dikumandangkan Nabi Muhammad saw sekembalinya dari Perang Badar. “Kita baru pulang dari jihad kecil menuju jihad besar. Jihad melawan hawa nafsu.”

Hikmah Lailatul Qadar

Salah satu peristiwa agung dalam bulan puasa adalah lailatul qodr. Dalam tradisi Islam, lailatul qodr merupakan momentum yang paling banyak diwarnai mitos. Tidak terhitung aktivitas, cerita, dan klaim tentang lailatul qodr termasuk yang berbau mistis. Pun, tidak sedikit hadist palsu yang beredar berkaitan dengan hal ini, terutama tanda-tanda fisik orang yang mendapat lailatul qodr.

Mayoritas ulama sepakat, lailatul qodr adalah saat diturunkannya Alquran untuk pertama kalinya atau bertepatan dengan 17 Ramadan. Artinya, lailatul qodr hanya terjadi sekali sepanjang kehidupan ini.

Secara kontekstual, lailatul qodr bermakna lahirnya ukuran moral universal (Alquran).

Pesan sentral Alquran, kata tokoh modernisme Islam, Fazlurrahman, adalah membangun komunitas yang egaliter berlandaskan etika. Sebab sejak awal Islam lahir bukan pada ruang hampa dan tidak berkembang pada komunitas homogen. Untuk menata masyarakat plural dibutuhkan aturan yang bisa mengikat semua kalangan tanpa ada diskriminasi. Aturan yang dijalankan harus berdasarkan kesepakatan semua golongan bukan pemaksaan atas nama mayoritas. Dengan demikian, implementasi semangat etis Alquran harus selaras dengan ranah dan kondisi sosiologis masyarakat di mana misi kitab suci ini dikembangkan.

Dalam konteks itulah puasa menjadi salah satu jembatan pengembangan pluralisme di negeri ini. “…kama kutiba ’ala alladzina min qablikum.. (..berpuasa diwajibkan sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu..),” menunjukan semangat kebersamaan tersebut. Bahwa puasa tidak hanya dijalankan umat Islam, tetapi juga umat sebelumnya atau umat yang lain. Singkat kata puasa dikenal dalam semua tradisi agama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline