Lihat ke Halaman Asli

Zulham Purnama Ridho

Tenaga Pendidik Pesantren Modern di Kota Medan

Tulislah!!!

Diperbarui: 20 September 2015   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, sebelum akun ini resmi diaktifkan kembali, seorang adik kelas mengirimkan pesan via BBM. Ia memintaku mengomentari tulisannya di blog. Untuk apa? Sebelum aku sempat melontarkan pertanyaan itu ia sudah menjawabnya terlebih dahulu, "Ada tugas dari dosen, Kak. Kita disuruh nulis 50 lembar terus memostingnya di blog dan harus dikomentari minimal 50 orang". 

Aku tertegun sejenak. Terkejut atas dua hal. Pertama merasa sedih dengan tugas yang mereka terima. Tega nian dosen tersebut memberi tugas kepada adik-adik yang masih baru ini dengan tugas sebanyak itu. Namun yang kedua justru aku merasa senang. Bukan, bukan senang karena mereka menderita dengan tugas seabrek itu. Bukan pula senang karena mereka pasti kewalahan mengerjakannya. Aku tau tugas itu pastilah sedikit banyaknya membuat mereka menderita dan kewalahan, tapi bukan itu alasannya kenapa aku merasa senang. Akan kujelaskan nanti.

Tanpa basa-basi panjang segera kuminta link yang dimaksud. Aku tak sabar ingin membacanya sampai habis. Seketika linknya dikirim langsung kubuka tulisan yang ingin dikomentari. Tulisan itu berada paling bawah sendiri. Judulnya, ah, tak perlu kusampaikan. Mataku membelalak. Ini benar-benar 50 halaman! Tulisannya mengular ke bawah sampai jariku capek memutar scroll mouse. Tapi oke lah, walaupun hanya diminta berkomentar, itu berarti aku harus membacanya juga. Aku ikhlas. *pasang wajah memelas yang ditegar-tegarkan

Tulisan yang kubaca ini merupakan tulisan bebas sebebas-bebasnya. Mungkin lebih tepatnya bisa dikatakan diary. Si penulis menceritakan tentang dirinya, awal kedatangannya di Kota Pahlawan, sampai pengalaman indah selama kursus sebulan di kampung inggris, Pare. Banyak kenangan yang ia kemas di dalam tulisan 50 halamannya itu. 

Tak banyak komentar yang kusampaikan. Hanya sedikit motivasi agar terus istiqomah dalam menulis. Aku tak ingin menilainya dari segi kepenulisan. Titik komanya, pemilihan diksi, penggunaan kalimat aktif/pasif, sampai dengan kalimat langsung dan tak langsung, itu tak terlalu penting menurutku. Tugas penulis adalah menulis, sedangkan yang memperbaikinya adalah tugas editor. Penulis bebas menuangkan ide dan imajinasinya di atas kertas sebanyak mungkin. Membebaninya dengan peraturan-peraturan kepenulisan yang baku, harus begini-begitu, sama saja dengan menghalangi ide tersebut keluar dari kepala. Apalagi seseorang yang menulis karena berdasarkan paksaan, apakah itu paksaan internal atau eksternal, biarkan saja mereka menulis, apapun!

Nah, di sini aku akan menjelaskan alasan keduaku. Aku senang karena ternyata masih ada dosen seperti itu. "Tega" menyuruh kepada mahasiswanya menulis 50 halaman dan wajib dikomentari 50 orang. Aku tau pasti ini bukanlah ketegaan yang menindas dan semena-mena. Aku yakin ini pastilah ketegaan yang "membangun". Aku tau maksud dosen tersebut. Dan kau tau? Aku tau siapa dosen itu!

Aku rasa ini adalah awal yang baik untuk memulai menulis. Buat mereka dan terkhusus buatku. Buat mereka karena menulis itu bukan sekedar tugas yang dipaksa. Akan selesai jika tak ada lagi yang memaksa. Tetapi jadikanlah menulis sebagai ajang memperpanjang hidup. Jasad kita boleh mati, tapi nama akan terus abadi. Raga kita boleh lekang digerus zaman, tapi pikiran yang tertoreh di atas kertas akan terus bersemayam dalam ingatan. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline