Dear to my Lovely
Saat aku memegang terong, selalu saja aku teringat akan hidungmu. Sungguh kumerasa gemas hatikupun kocar-kacir laksana kacang hijau yang tumpah dari baskom.
Sudah lama kita terpisahkan oleh samudera yang membentang. Teramat garang saat kucoba ingin berenang. Tapi aku bukanlah seekor lumba-lumba yang pandai meliukan badanya di kedalaman perairan. Terpaksa kutatap fotomu saja yang kuletakan diatas peta Indonesia.
Ingin sekali aku menelponmu sambil kunikmati senyum yang dihiasi sebutir tailalat di dagumu. Lagi-lagi aku tak bisa melakukanya, sebab hand phoneku tidak dilengkapi fasilitas triji, agh, lagi pula di kotaku tak ada jangkauan sinyalnya.
Tapi kuyakin my dear, walaupun kau jauh di mata, tapi kau selalu dekat di telinga. Karena kamu selalu menelponeku, yah, walaupun hpku made in China. Dan telah kusadari, mereka menjajah kita dengan fasilitasnya. Tak apalah, tapi aku bisa tahu kabarmu kapanpun kumau.
My dear. Aku tidak tahu kemana akan kukirimkan surat ini. Sebab teramat sulit kutemukan perangko yang sudah bukan jamanya lagi. Mungkin akan kukirim lewat e-mailmu, atau lewat Black Berry masanger, agh, aku lupa, aku kalo hpku made in China, agak serupa tapi tak sama.
Ya sudahlah my dear, lebih baik kita telponan saja. Daghhhh...
~^_^~
stresss akut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H