Lihat ke Halaman Asli

Dalam Sekapan Tirani

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Keringat menetes, darah berdesir, dan terkadang nafas teramat sesak. Ketika rasa yang telah lama direbahkan terbangun ditikam realita.

Apalah daya, kita hidup dibawah tirani yang mencekam. Menjelma laksana hantu-hantu yang meneror dalam ruang gelap. Menebarkan gelisah, takut dan terkadang amarah yang membuncah.

Murka. Detik ini semakin menua, sedangkan waktu sendiri telah melarutkan berbotol-botol rum yang melenakan hasrat kita. Kita terjebak disarang srigala yang penuh kotoran, lembab dan baunya begitu menyengat. Ingin rasanya kita terbang tinggi dan mengepakan sayap bak rajawali. Namun apalah daya, kita hanyalah segerombolan domba yang terpisah dari sang pengembala.

Sukma ini menjerit histeris, mengadu pada ruh, namun raga tak berkutik lantaran mabuk kepayang disekap tiran.

Tolong mainkan sebuah alunan musik untuku, atau sebait syair tuk hatiku. Agar sukmaku tak menjerit lagi, agar bisa kutemukan celah tuk segera pergi dari cengkraman tirani, agar para srigala tak menyantap dagingku.

Duhay kidung pengembala, aku rindu suara serulingmu dipadang rumput nan hijau. Saat nyanyianmu membawaku ke tepian telaga yang begitu jernih dan segar, kau sirami dahagaku dengan berjuta kesejukan.

Aku rindu sang pengembala, aku rindu tarian elang di angkasa, aku rindu buaian sang alam. Pergi dari tiran, tanpa setitik kata hujatan.

¤¤¤¤¤
banjarbaru 230112
bvb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline