Lihat ke Halaman Asli

Gombalisasi Wajah

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sayang,
wajah-wajah kita menghadap kearah tenggelamnya sang surya, penuh harap setelah cemas membuat gelisah hati kita. Manakala suguhan kopi kita masih terasa pahit, namun kita coba tuk tersenyum puas.

Aku tahu bahwa sore itu akan menuju malam, lalu kita pertaruhkan wajah-wajah kita kepada rembulan dan gemintang diatas langit.

Sayang,
lelaki malam duduk di ruang kosong, matanya menerawang keatas langit, lalu dia menangis sesenggukan, ketika didapatinya seraut wajah hitam menyerupai dirinya. Aku hanya bisa mengintipnya dari bilik risauku, dan kucoba tuk bertanya kepada atap dan jendela. Apakah matahari esok masih datang bersama kemunafikanku, padahal aku telah merasa mencuci tubuhku di kolam ramadhan.

Aghh,
aku sungguh tidak mengerti sayang, rasa lapar dan hausku telah memabukanku di kolam itu, aku lupa diri, rasaku semakin gemerlap mengalahkan gemintang.

Sayang,
satu syawal telah membuatku merasa takut, yeach, aku teramat takut dengan wajahku, seperti halnya seorang lelaki dalam ruang kosong itu. Ketika telah kusadari, bahwa gombalisasi telah kujadikan topeng tuk menyeduh kopi pahitku.

Aghh, entahlah...

Aku rasa langit dan dirimu lebih tau dariku.

Tak perlu kuharus bercerita kepada jiwa-jiwa disekitarku, tentang rasa kopi yang kunikmati di hari yang fitri, biarlah mereka mencium aromanya saja, sambil menatapku dengan senyum yang membalut luka.

¤¤¤¤¤
pinggir jalan 280811
bvb




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline