Lihat ke Halaman Asli

Coretan dari Pinggir Trotoar

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore hari yang masih terik.
Ketika aku mencoba melepaskan pandanganku kepada hilir mudik roda-roda berknalpot di hadapanku, sesekali kutepis silaunya matahari yang mencoba memaksa menutupi riuhnya suasana trotoar. Lagi-lagi secangkir kopi dari Ibu Marni yang sudah terbiasa menemaniku bersama rokok berbandrol yang katanya semakin dilarang beredar di kota-kota besar.

Sore ini sangat cerah, walau malam tadi gerhana bulan menghiasi cakrawala.
Aku lihat beberapa pengamen masih tersenyum kepada para pengunjung warung lesehan dihadapanku, mereka masih semangatnya memainkan gitar dan bernyanyi. Para pejalan kaki masih setia kepada trotoar yang semakin menyempit ini, walau terkadang mereka harus terjatuh keparit di pepet beberapa pengendara yang katanya sudah hapal pancasila.

'' Hmmm...

Kehidupan jalanan, siang dan malam selalu bersahabat dengan kebisingan, cacian, makian, dan rasa was-was telah menjadi hidangan sehari-hari yang sangat berserat dan bahkan mengandung vitamin.

'' Yeah, walau terkadang salah satu diantara kami sering berkeluh kesah karena kontrakan belum bayar tiga bulan,bon diwarung rokok, dan bla bla bla, tapi itu wajar bukan, karena keluh kesah itu manusiawi.

Tapi diantara kami jarang menangis, mungkin, kami ditakdirkan tuk selalu berteriak dan membentak-bentak sekeras-kerasnya kepada suasana.

'' Tapi, kami masih punya nurani.

Hanya saja dikala merasa terhimpit dan terdesak kami harus membentak, kami terbiasa dengan kerasnya suasana kota, karena bagi kami kekeraan itu sangat diperlukan tuk sebuah perlawanan dari ketidak adilan yang hampir setiap hari dihidangkan terhadap kami.

Terkadang disaat sendiri, aku sering curiga terhadap Tuhan.

'' Dimana Dia, kenapa diam saja melihat kami seperti ini...?!

Tapi selalu saja ada sebuah suara yang mencoba bertengkar terhadap prasangkaku itu, aku harus tetap menjaga keseimbangan emosiku dikala merasa terpuruk. Aku mencoba menarik nafasku sesaat, lalu kuhembuskan secara perlahan, kemudian aku mencoba meminum secangkir kopi dihadapanku yang sudah mulai dingin lalu kunyalakan sebatang rokok di mulutku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline