Lihat ke Halaman Asli

Kopi, Jendela, Pintu, Malaikat dan Pelacur

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

tarik nafas, lalu hembuskan.
kemarilah, seduhlah kopi dicangkir kita masing-masing.
kalau pahit, tambahkan gula, tapi jangan kemanisan, kurang nikmat rasanya, tapi, aku tak memaksa, karena selera urusan kita, aku tidak berhak.

oh ya, kalau tumpah jangan kau jilat, apalagi kau jilati tumpahan kopiku.

kemarilah, itu jendelamu masih tertutup.
bukalah, biar ada sinar mentari yang masuk bersama bayu yang semilir, biar kau bisa memandang lalu lalang tetanggamu yang aduhay, biar tahu apakah mendung selalu hujan.

oh ya, pintumu jangan kau kunci, nanti sulit untuk keluar, di luar udaranya bagus lhoo...

kemarilah, keluarlah, lihatlah langit yang biru dengan awan berarak dikala siang, dan bintang-bintang genit sekali dikala malam merayu bulan.
diatas sana katanya ada Tuhan, tapi entahlah, yang aku tahu Dia lebih dekat dari urat nadiku.

jadi kemarilah, minumlah kopimu selagi hangat, dan kita bercerita tentang malaikat pencabut nyawa bersama para pelacur yang kadangkala menghibur kita.
tapi kamu jangan onanikan otakmu itu, nanti kau lemas, biarkan mereka menghampiri kita pada saat giliran antrian.
kesinilah, kita nikmati saja kopi kita, tapi ingat jangan menjilat tumpahan kopiku, itu tidak sehat bagi pencernaanmu.
sambil menunggu malaikat pencabut nyawa, mari kita bernyanyi sambil menikmati desah manja pelacur-pelacur hidup.

-------------------
Selatan borneo 03062011
mister gemblung dan kopi pahit




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline